December 10, 2018

Ekspedisi Ujung Barat indonesia: Kembali ke Bagaimana Semua Bermula

Karena sudah mulai masa-masa pencarian lokasi KKN bagi mahasiswa-mahasiswa yang bukan pengusul seperti saya, bolehlah saya cerita sedikit tentang bagaimana ekspedisi ujung barat Indonesia saya ini bermula. Sebentar saya ingatkan lagi, pada periode KKN antar semester 2017 yang lalu, saya berkesempatan untuk menjajaki lokasi yang terkenal karena namanya diabadikan di lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" ciptaan R.Suharjo.

Sesaat sebelum menyeberang ke Pulau Weh, di Pelabuhan Ulee Lheue

Pertanyaan yang sering terlontar setelah mengetahui saya KKN di mana adalah, "Kok bisa mba, KKN di situ?". Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan itu adalah "Entah, begitulah rupanya rencana Allah".

Mulanya saya sebetulnya termasuk orang-orang yang ingin jadi pengusul lokasi KKN. Kenapa? Karena keren. Yang saya tahu kakak saya pengusul, begitu juga kakak sepupu saya yang tinggal serumah, maka dari itu, saya nggak mau kalah, seru juga kalau bisa memilih lokasi dan merancang program yang akan dilakukan di lokasi tersebut. Tapi toh, saya nggak nemu tim dan pada akhirnya kegiatan yang lain mengalihkan fokus dari berusaha menjadi pengusul, hingga tidak terasa sudah pertengahan semester genap tahun ajaran 2016/2017.

Teman-teman saya mulai punya kelompok KKN, mulai ngobrolin keperluan KKN, mulai ngurusin ini itu yang saya nggak ngerti karena nggak ikutan ngurusin. Sepertinya, sudah saatnya yah nyari kelompok sebelum tidak ada lagi kesempatan untuk KKN di wilayah K2 (yang di luar Yogyakarta dan sekitarnya). Alhasil, saya mulai cari-cari lokasi yang sedang membuka rekrutmen terbuka dan terlihat menarik. Cara saya milihnya mudah, cari yang jauh, kira-kira lokasinya masih enak, desain posternya cukup menarik, dan program utamanya bisa lah saya cari celahnya untuk saya masuki.

Singkat cerita, saya mendaftar di dua lokasi, yang pertama ada di Lombok, dan yang kedua di Temanggung. Untuk Lombok saya batal wawancara karena ketika kesulitan nyari lokasi wawancaranya, narahubungnya susah dikontak, yah selamat tinggal. Sementara untuk yang Temanggung, sepertinya saat itu saya gagal 'menjual' nilai lebih ke-PWK-an dan kualitas diri, sudahlah nggak masalah.

Ternyata, jodoh lokasi KKN saya datang tidak disangka-sangka. Selama proses rekrutmen dua lokasi di atas, salah seorang kawan seangkatan ada yang menawarkan apabila ada yang tertarik untuk menggantikan posisinya di kelompok yang akan berangkat ke Sabang. Sekilas melihat dan menimbang, menarik juga, hingga sempat saya hubungi juga, tapi saat itu, masih nggak yakin. Hingga pada suatu Ahad, saya sedang mampir di kios dekat sunmor, nyari sarapan darurat. Tiba-tiba berpapasan dengan seorang kawan SMP yang sudah lama tidak bersua, dan sespontan itu dia menanyakan apakah saya sudah dapat lokasi KKN dan tertarik untuk bergabung dengan timnya ke Sabang. Wow, karena kaget, waktu itu cuma bengong dan bilang, biar nanti dipikirkan dulu.

Satu pekan setelahnya, pasca gagal wawancara Lombok dan ditolak Temanggung, akhirnya saya yakin untuk mengiyakan pergi ke Sabang, berbekal restu dari Ibu (yang mulanya hampir menolak karena salah mengingat Sabang ada di ujung timur Indonesia, dan harus diyakinkan bahwa saya nggak masalah baru kenal satu orang saja di tim, karena toh nantinya semua akan berkawan juga). Begitulah, sesederhana itu.

Lucu ya, terkadang kita mencari-cari jalan yang tepat, karena ingin ini atau merasa butuh itu. Pada akhirnya, kesempatan yang terbuka ternyata datang dari arah yang tidak terduga-duga. Ini bukan cerita yang pertama, bukan juga yang terakhir, karena sering ternyata saya mengalami yang seperti itu, tapi untuk pertama kalinya, kejadian ini yang membuat saya benar sadar bahwa begitulah takdir datang ketika kita mencoba untuk berusaha.

Selamat berproses dalam KKN bagi teman-teman yang baru akan berangkat. Semoga yang terbaik selalu menyertai.
Kalau kamu, bagaimana pengalaman menemukan jodoh lokasi KKNmu?

October 6, 2018

What's the Purpose of Your Life?

Akhir-akhir ini saya sering gamang akibat persoalan hidup. Mungkin orang akan bilang inilah yang dinamakan quarter life crisis. Masa di mana seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan kehidupan yang belum pernah dia ambil sebelumnya, dan akan menentukan ke arah mana bahtera hidupnya akan melaju.  

Waktu itu ada seorang kawan yang pernah bertanya-tanya tentang kehidupan, di masa-masa ketika saya sedang mencari makna kehidupan. Jawaban-jawabannya bisa dilihat di sini, berikut juga jawaban dari berbagai kawan (yang rasanya kok lebih keren ya! padahal sebetulnya bebas aja sih mau mendefinisikan kehidupan seperti apa ahaha). Setelah dibaca kembali bertahun kemudian, sepertinya saya kok hidup untuk diri sendiri? 
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah
Al-Qur’an 3:110
Nah, setelah saya menggali-gali lebih dalam sedikit, saya ketemu dengan satu ayat ini dengan tidak sengaja (di sebuah form online evaluasi wajib bulanan sebuah beasiswa, nahlo). Rupa-rupanya, saya yang ngga keren ini adalah bagian dari umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Syaratnya mudah kok, menyuruh ke yang makruf (yang baik), mencegah dari yang mungkar (yang buruk), dan beriman kepada Allah. Cukup sampai situ dulu.

Di suatu waktu, saya pernah diskusi dengan seorang kenalan, salah satu mahasiswa di University of Queensland yang sempat datang ke Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan Joint Studio antara UGM dengan UQ. Kebetulanlah maka kami bertemu di acara tersebut. Beliau ini muslim dan aslinya dari suatu negara di Afrika yang sayangnya saya juga lupa apa namanya karena susah… bentar Google dulu. Mungkin antara Sierra Leone atau Burkina Faso, maaf saya lupa betul. Tapi poinnya ngga di situ. 

Di malam terakhir kami mengadakan farewell dinner, kami berdua tiba-tiba asyik mendiskusikan takdir, daripada melongo di pinggir meja. Kebetulan sekali, waktu-waktu belakangan, saya dipertemukan Allah dengan banyak sekali orang. Dan sesungguhnya mereka memberikan kesan yang cukup mendalam pada kehidupan. 

Lucunya, sebetulnya kita tidak akan pernah tahu kapan dan dengan siapa kita akan beririsan takdir. Siapa yang akan kita temui, dengan alasan apa kita bertemu, apa yang akan kita dapatkan dari pertemuan tersebut. Kita ngga bisa dengan sendirinya menentukan, karena sebetulnya pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari takdir, walaupun takdir bisa diperjuangkan. Namun, selayaknya takdir, semuanya adalah misteri, namun di dalam misteri itulah terletak keindahannya. 

Maka kemudian berkaitanlah bahasan pertemuan dan perpisahan ini dengan ayat yang saya kutip di atas. Pernahkah bertanya pada diri sendiri, apa akibat dari pertemuan kita dengan orang lain? Apakah kita bisa memberikan kebaikan kepada orang yang kita temui, ataukah kita justru menyebabkan kerusakan? Sudahkah kita berusaha untuk mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dalam singkatnya waktu pertemuan kita?

Pada akhirnya ini menimbulkan segenap tanya bagi diri saya sendiri.

Salam


June 27, 2018

Ketika Jogja Ditinggal Mudik


Kendaraan roda dua yang biasanya memenuhi jalanan manggrok di dalam pagar kos-kosan. Pemiliknya pergi setelah memastikan kamar kosannya bersih dan rapi, barang bawaannya tidak tertinggal, sembari menyangking oleh-oleh bakpia untuk handai taulan di kampung halaman. Hanya sempat sekilas menengok pintu kosan yang tertutup rapat, mengunci motor dan menutup lubang kuncinya, tergesa tidak sempat berpamitan dengan pemilik kosan yang toh kemungkinan tidak ada di rumah karena sudah ditunggu tukang ojek online

Jalanan lengang, mobil-mobil berplat AB mulai digantikan dengan beragam plat yang lain, tapi aduh mereka tidak bisa menggantikan keramaian yang absen dihadiri para perantau. Beberapa rumah makan bersaing dengan restoran cepat saji setia melayani segelintir orang tidak beruntung yang bertahan di kota ini selama hari raya. Sementara para aa’ burjo meninggalkan warung mereka dan meninggalkan tanah jawa, dan ibu-ibu laundry menutup jasa mereka untuk sementara waktu. 

Alih-alih mahasiswa lokal, kini populasi mahasiswa yang merantau ke luar Jogja sepertinya lebih banyak. Tapi toh barista kedai-kedai kopi menikmati liburan singkat mereka, tak perlu meladeni mahasiswa yang kebanyakan nugas sembari nongkrong, Menjeda diri dari rentetan keluhan banyaknya laporan dan jadwal ujian yang tidak manusiawi. Para mahasiswa tingkat akhir pun bisa sejenak bernapas dan melupakan beban tugas akhir mereka, hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “kapan lulus?” dan buntutnya yang lebih panjang. Kampus? Jangan ditanya. Hanya daun-daun berguguran yang mau memenuhi kekosongan di dalamnya. Bahkan Pak Satpam pun enggan menjaga portal dan menutupnya biar mereka yang mau bernostalgia berjalan kaki saja masuk ke dalam rimbanya. 

Walaupun bus-bus trans jogja sepi penumpang, mereka bertahan melakukan putaran rutin yang kini tidak mengantarkan siapa-siapa. Orang-orang lebih memilih meramaikan tempat wisata dengan kendaraan pribadi yang sudah menempuh puluhan hingga ratusan kilometer untuk mencapai rumah. Tempat pulang hanya bagi mereka yang pernah merasa tinggal di sana, bukan bagi pasangan atau keturunannya yang merasa rumah hanyalah tempat singgah dan mudik adalah perjalanan untuk bepergian. 

Letusan-letusan mercon bersaing dengan ledakan-ledakan kembang api yang memeriahkan malam lebaran. Bunyinya sejenak memutus gema takbir dari toa masjid-masjid setempat, hanya untuk mengizinkannya kembali bersambung. Sementara mereka yang tinggal di lingkungan perumahan penuh dengan orang-orang tua tidak diizinkan untuk nyumet keduanya, kertas-kertas bekas mercon beterbangan di sisi jalan keesokan harinya. 


Aduh sampah! Ada sampah bekas bungkus makanan dan minuman kemasan, ada sampah bungkus ketupat dan lontong, ada sampah koran yang berserakan di lapangan tempat shalat ied, ada sampah dilempar ke jalanan oleh para penumpang mobil yang kurang ajar dan tidak tahu diuntung. Piyungan sepertinya sebentar lagi akan kelebihan muatan, tapi toh kita tidak perlu memedulikannya selagi sapi-sapi di sana tetap gemuk, para pemulung mendapatkan uang untuk bertahan hidup, dan sampah itu tidak menggunung di sekitar tempat tinggalku. 

Oh tidak, bahkan apabila gunung sampah itu longsor ataupun licitnya sedikit mencemari kawasan sekitarnya yang toh sudah tercemari baunya, paling hanya akan menjadi berita utama di koran, radio dan tv. Kita akan berduka dan berkasak-kusuk sejenak sambil sibuk menyalahkan si ini dan si itu. Setelahnya hidup kembali normal masa bodohlah itu urusan pemerintah saja. Produsen dan konsumen tidak perlu khawatir dengan limbah produk yang mereka produksi dan konsumsi, asalkan sudah ditimbun di jugangan, dibakar, terbawa arus sungai hingga ke muara atau ditaruh di tempat sampah biar jadi tanggung jawab Pak Sampah yang tiap hari keliling dengan upah seadanya. 

Di satu pagi seorang gadis berjalan menghampiri penjual gudeg 500 meter dari rumahnya. Berjejal mengantri 2 jam untuk 4 porsi bubur dan gudeg yang manisnya ngga kalah dengan senyuman ibu yang jual. Ketika antriannya diserobot oleh mereka yang mau makan di tempat, ia berusaha nrimo karena toh ia orang Jogja yang seharusnya berwatak begitu. 

Tapi sekarang bermunculan orang-orang yang sudah tidak lagi nrimo, masang-masang spanduk dan baliho di pinggir jalan, melawan petugas yang datang, demi mempertahankan sepetak tanah yang dihuni selama puluhan tahun. Wahai, berani betul itu berucap buruk pada kanjeng Sultan. Ternyata, keistimewaan daerah ini bisa menimbulkan konflik juga. Tunggu, masihkan sekarang berlaku prinsip tahta untuk rakyat? Ataukah tahta hanya menjadi alat untuk membela kepentingan yang berkuasa? 


Kereta api belum lagi beranjak dan sang pemilik motor masih berada di tanah perantauannya. Sibuk merenungkan bagaimana nasib kota ini kini dan nanti. Sembari diam-diam berharap bisa merasakan Jogja seperti satu dekade ke belakang. Yang kata sahabatnya jauh lebih aman, nyaman dan tenteram dibanding sekarang. Suasana yang mungkin hanya bisa dirasakan ketika kota ini ditinggalkan para perantau yang menghisap tenaga hidupnya, yang dalam waktu bersamaan menyuntikkan energi kehidupan baru yang mengalir dalam nadi kota. Ah, tapi toh dia lebih memilih mudik, menjadi bagian dari aliran orang-orang yang berpindah dan memenuhi jalanan antar kota.

June 25, 2018

Ada Jutaan Solusi untuk Jutaan Masalah di Dunia - Lagi-Lagi Sebuah Refleksi, Kali Ini Pasca UNLEASH 2018

Sudah lebih satu bulan berlalu, orang-orang yang sempat beririsan jalan dengan saya sudah kembali bertebaran di muka bumi, berlomba-lomba memberikan manfaat untuk sesama. Saya? Habis libur lebaran sih…

SDG 11 team, those who work on the Sustainable Cities and Communities, on the last day of the innovation process,
at The Arc, NTU. Credit to the UNLEASH team.

Adalah sebuah innovation lab yang sangat inovatif (menurut saya), UNLEASH 2018. Diadakan pada tanggal 31 Mei-7 Juni 2018, acara ini berhasil mengumpulkan 1000 orang talents dari seluruh dunia! Masing-masing talents merupakan bagian terpenting dan paling unik dari acara ini, di mana semua orang memiliki latar belakang yang berbeda, membawa suatu masalah dari berbagai penjuru dunia tapi sama-sama memiliki tekad untuk berbuat sesuatu sebagai jawaban atas masalah-masalah yang ada. Semuanya menjawab tantangan untuk sebuah akselerasi positif dalam mewujudkan target Sustainable Development Goals 2030.
On no soul does God place a burden greater than it can bear” 
Al-Qur’an, 2:286
Kenapa gitu ngutip ayat di atas? Jujur, karena dibalik segala keseruan yang luar biasa, ‘beban’nya juga seberat itu. 

Saat survei di HDB, serahkan kerjaan wawancara ke orang-orang lokal, kan?
Credit to Torben
Beban berat yang pertama, super tight and intensive schedule. Tujuh hari penuh. Setiap harinya aktivitas resmi dimulai pukul 08.00, tapi kami harus berangkat dari penginapan di NUS ke ruangan workshop di NTU pada pukul 07.30 waktu Singapura (yang jam 8 nya berasa jam 7). Sementara jadwal pulang kembali ke penginapan pukul 18.00, dan setelah makan malam, masing-masing kelompok sangat memungkinkan untuk melanjutkan pekerjaannya, yang biasanya memakan waktu sampai pukul 21.00 ke atas. Beruntungnya, di beberapa hari para talents diberikan waktu setengah hari atau di sore hari untuk melakukan cultural activities dan kunjungan ke luar. Kalaupun sedang kurang beruntung, fasilitator memberikan segenap kemampuan mereka untuk membuat rangkaian innovation lab ini menyenangkan dengan berbagai kegiatan selingan di dalam ruangan.

Marketplace, ketika ide yang sudah digodhog
kami pamerkan
Beban berat yang kedua, problem framing, ideation, prototyping, testing and pitching ideas, that had to be done in a very short period of time. Dalam rangka membantu kami self-facilitating dalam proses pematangan inovasinya, mereka menerapkan sebuah framework yang isinya berupa tahapan-tahapan di atas yang seharusnya diakhiri dengan implementation. Namun, karena keterbatasan waktu kegiatan, proses kami diakhiri dengan pitching ideas, dan perkara implementasi diserahkan ke masing-masing kelompok. Setiap tahapnya, kami disediakan tools yang bisa kami pergunakan untuk mencapai targetan yang ditentukan, dengan bantuan fasilitator dan juga beberapa ahli di berbagai bidang. Sementara untuk bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya, kami harus melewati ‘gate’, semacam tes dengan fasilitator untuk mengecek kelengkapan target dan progres kelompok. 

Di akhir acara, kami dituntut untuk bisa mempresentasikan inovasi yang kami hasilkan. Rancangan program/prototype produk ini dipresentasikan dalam sebuah pitch di hadapan rekan-rekan yang bekerja dalam satu gol SDGs yang sama, serta dipamerkan di sebuah marketplace yang ketika itu bekerja sama dengan Temasek Ecosperity Expo. Dalam kedua kesempatan ini, kami mendapatkan feedback yang menarik dari para ahli, serta mendapat kesempatan untuk bertukar ide dengan talents lain, bahkan bertemu dengan investor yang kira-kira akan mendanai implementasi ide kami. 

HOLLOT Team! (wich actually stands for
Hands of Light, Legs of Thunder).
Credit to Torben
Beban berat yang ketiga, you had to do all that with a team that consists of people that you barely knew (at first). Namun, justru di sinilah serunya! Untuk mahasiswa yang bahkan belum punya gelar sarjana seperti saya, awalnya sempat ketar-ketir juga, karena banyak di antara talents yang lain adalah expert! Mereka yang sudah bergelar sarjana/master/doktor, sedang melanjutkan studi master/doktor, sudah bekerja di berbagai organisasi/perusahaan berkelas internasional, dan segala pencapaian lainnya yang saya saja baru sempat membayangkannya, dan kalau tidak disikapi dengan baik bikin minder hahaha. But hey, a friend of mine once said, ketika kamu jadi orang yang paling tidak tahu dalam suatu kelompok, justru di saat itulah kamu bisa jadi orang yang paling banyak belajar. Which is undeniably true, in my case. Rekan satu kelompok saya adalah seorang arsitek, seorang sosiologis, keduanya berasal dari Denmark, dan seorang mahasiswa akuntansi dari Singapura. Dari mereka, baik dari pribadi maupun dinamika kelompok yang terbentuk, saya banyak belajar. Utamanya tentang bagaimana berkomunikasi, berkolaborasi, mengapresiasi satu sama lain serta menghargai proses lebih daripada hasil.

Yang keempatnya, what is this girl from a developing country trying to do, solving a problem in a developed country? Ngga ada masalah sama sekali! Kelompok saya pada akhirnya bekerja menyelesaikan permasalahan peningkatan rasa kesendirian di antara para lansia di Singapura, utamanya mereka yang tinggal di apartemen HDB. Terlepas dari justifikasi negara maju atau berkembang, pada dasarnya kita tidak bisa memaksakan sebuah solusi yang berhasil di suatu tempat pada konteks tempat yang mau kita intervensi bukan? Maka dari itu, ini justru jadi kesempatan yang luar biasa untuk mendapatkan insights tentang beragam persoalan yang terjadi di dunia. Teman-teman yang sama-sama bekerja untuk mewujudkan gol Sustainable Cities and Communities saja, ada yang memilih mengangkat isu kurangnya kesempatan pengungsi untuk berwirausaha, ada yang mengangkat isu buruh migran, dan lain sebagainya. Pendekatan yang dilakukan untuk masing-masing masalah juga bisa sangat beragam, ada yang memutuskan membuat platform yang mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan, ada yang mengembangkan produk tertentu, hingga yang seperti dilakukan kelompok saya, membuat satu desain sosial dan fisik. Semuanya diperbolehkan, tidak ada yang memberikan batasan selama solusi itu adalah suatu hal yang feasible untuk dilakukan. Maka dari itu di awal pembentukan kelompok fasilitator berusaha memastikan bahwa orang-orang yang berada di satu kelompok berasal dari latar belakang yang heterogen.  

Terakhir, we carry the world upon our shoulders. Tega sekali mereka yang mengubah lirik lagu 'Hey Jude' menjadi UNLEASH anthem ini. Dengan banyaknya masalah di dunia ini, how could we solve all that? Bahkan mencapai target SDGs saja susah lho! Tapi mereka tetap mengumpulkan kami untuk saling bertukar gagasan dan memperluas jejaring (baik dengan sesama maupun dengan para ahli dan investor). Lalu, mereka mendatangkan sosok-sosok yang sudah berkontribusi dalam pencapaian SDGs dan menyelesaikan berbagai macam masalah di skala lokal maupun internasional. Kemudian mengajak kami menjalani serangkaian proses yang luar biasa yang membuat kami menjadi bagian dari solusi, mulai dari melakukan hal-hal yang paling sederhana, hingga akhirnya energi positif yang kami dapat di UNLEASH ini akan tersebar luas ke berbagai belahan dunia tempat kami berasal. Because the SDGs is ours to take action on, and there should be no one left behind. For the millions of problems the world face today, we could find millions of solutions that will make it a better place for us to live. 

Pada akhirnya, semua ‘burdens’ ini adalah blessing in disguse. Waktunya meninggalkan pesimisme yang terbangun selama ini dan menyambut energi positif untuk melakukan sesuatu. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, bukan? At least, ini sudah dibuktikan oleh rekan-rekan talents UNLEASH yang menghasilkan paling tidak ratusan ide selama berproses bersama di sini. Ide-ide yang disampaikan bisa jadi sangat sederhana untuk satu masalah yang pun sederhana, tapi yang penting, berdampak. 

With some of the UNLEASH Indonesian talents. Tunggu kabar-kabar baik dari kami-kami ini ya! Haha
Whoops, mohon maaf saya ngga bisa menyampaikan cerita ini dengan lebih baik lagi. Sungguh sebetulnya ada banyak sekali hal yang saya dapatkan dari pengalaman UNLEASH ini secara pribadi, pun rangkaian kegiatannya tidak sepenuhnya saya jabarkan di sini. Buat yang masih kepo, silakan kontak saya hehehe. Fyi, tahun depan (kemungkinan besar) akan ada UNLEASH 2019, buat yang tertarik untuk daftar, do prepare yourself. If there’s anything that I might be able to help, just tell me. For whatever reason you might want to join this program, my best advice is, just give it a shot. 

May 15, 2018

Para Pemberontak yang Romantis — Sebuah Renungan Pasca Workshop Low Carbon Ecodistrict

Sesi diskusi yang setiap harinya bisa 
berlangsung 8-12 jam!
Di tahun terakhir saya kuliah, kembali saya diingatkan bagaimana perjuangan menjadi mahasiswa baru di program studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Masa-masa studio kawasan yang berjalan 3–6 bulan itu kira-kira saya alami kembali dalam kurun waktu 2 pekan ke belakang, tentu saja dengan tantangan yang sungguh berbeda. (Pada akhirnya ini menjadi pengalaman yang menampar manis: Sudah siap jadi Urban Planner?)

Siapa bilang jadi mahasiswa tingkat akhir lalu kamu akan dengan mudah menyelesaikan tugas perencanaan kawasan yang notabene sudah khatam kamu lakukan di tahun pertamamu kuliah? Big no. Sebagai anak PWK yang kurang pede dalam merencanakan skala kawasan karena otaknya ngga kreatif-kreatif amat, kegiatan Intensive Contest and International Workshop, Re-think the City for a Low Carbon Ecodistrict ini menjadi satu pengalaman yang sangat berharga.

Segalanya sudah dipersiapkan dengan baik oleh panitia kegiatan dari Kementerian PU, Ademe dan French Embassy di Indonesia. Kegiatan workshop ini adalah bagian dari satu usaha panjang membuat satu proyek percontohan low carbon ecodistrict di dua tempat, yakni di Kampung Gampingan, Yogyakarta dan Kampung Sruni, Wonosobo. Sebagai peserta saya sangat dimanja. Bukan tentang akomodasi dan konsumsi yang selalu tersedia bahkan tumpah ruah. Namun, tentang analisis kawasan yang sudah dilakukan sebelumnya. Di awal workshop kami sudah memegang satu dokumen term of reference berisi gambaran wilayah perencanaan dari tingkat kota hingga kampung, analisis kondisi keruangan dan non-keruangan, paparan harapan warga kampung, hingga arahan program yang akan dilakukan dan pilihan sistem infrastruktur yang bisa digunakan untuk mendukung konsep low carbon
Presentasi di hadapan warga kampung

Berarti seharusnya peserta sudah tinggal membuat perencanaan dan desain saja dong? Yah, pada dasarnya mungkin informasi awal itu sudah sangat cukup dan kami hanya perlu mengkonfirmasi beberapa hal kepada warga dan mengecek kondisi di lapangan secara langsung. Namun, alih-alih berpegang teguh pada dokumen TOR tersebut, kami — utamanya kelompok saya — bersepakat untuk menjadi sepasukan pemberontak. 

Mudah saja, semua orang memiliki cara pandangnya masing-masing. Satu kelompok terdiri dari orang-orang yang sangat heterogen (latar belakangnya sungguh berbeda, baik dari segi bangsa, bahasa, budaya, hingga keilmuan). Bagaimana kami kemudian mengklasifikasikan suatu kondisi sebagai masalah maupun potensi, mengkomunikasikan ide, dan menilai mana yang adil maupun tidak sebagai suatu solusi adalah satu tantangan tersendiri. Kalau kita sibuk mencari perbedaannya, lah rasanya kok tidak akan selesai ya.

Menikmati kampung di tengah keterbatasan ruang
Di antara pemberontakan kami yang paling membuat pusing panitia hingga kami berdebat lama bahkan dalam forum diskusi di hadapan para warga adalah tentang aturan sempadan sungai yang mengharuskan kami memberikan ruang kepada sungai dalam besaran tertentu. Hingga akhirnya kami tetap bisa keukeuh mempertahankan prinsip awal desain kawasan kami dan mencoba untuk mengakomodasi persyaratan dalam peraturan tersebut.

Yah begitulah, dinamikanya terlalu menarik. Sebagai tim yang terdiri dari urban planner, urban designer, landscape architect, sustainable architect dan architect, serta memiliki supervisor yang architect, urban designer, urbanist dan historian, kami dituntut untuk menjadi profesional yang harus bisa menemukan permintaan dari dua klien yakni warga dan pemerintah, menggabungkan proses perencanaan top down dan bottom up, menghasilkan satu produk rencana di skala urban, district dan building. Menakjubkannya, sebenarnya proses yang menyita hati dan pikiran ini menjadi salah satu bentuk perwujudan angan saya tentang studio yang ideal seharusnya. 

Kehidupan di tengah ruang publik
Lalu, di akhir program ini saya termenung. 

Studi kasus yang diangkat di Yogyakarta dan menjadi lokasi kajian kelompok saya sebenarnya adalah kawasan yang mau tidak mau kita kategorikan sebagai kumuh. Dengan kondisi bangunan semi permanen yang mayoritas tidak layak huni, talud yang sudah tergerus, tanah yang kepemilikannya dipertanyakan dan kawasan yang terancam banjir bandang sepuluh tahunan, belum lagi tumpukan sampah di pinggir sungai dan kondisi sanitasi yang tidak memadai, tapi ternyata kita masih bisa menemukan romantisme di gang-gangnya yang sempit, berliku dan berundak, di sela rumah-rumah yang dibangun sedikit-sedikit dan seadanya, dalam sebaris antrian kamar mandi dan celotehan warga yang berkumpul di sisa-sisa ruang yang tersedia. Suatu romantisme kehidupan kota yang hanya bisa kamu temukan di kampung.

Survei, dibantu anak-anak
Sebuah romantisme yang mendasari pemberontakan pada peraturan. Saya tidak menolak fakta bahwa merumahkan kembali orang-orang yang hidup dalam kondisi ini adalah satu tindakan yang menjadi kewajiban moral para urbanis. Serta bahwa dalam beberapa kasus, rumah yang tidak layak mungkin lebih baik tidak dipertahankan. Namun, alih-alih mengamini proses penggusuran dan relokasi yang menimbulkan lebih banyak konflik dibandingkan kepuasan warganya, kami memilih pendekatan yang sekiranya lebih halus, suatu proses urban renewal yang humanis. 

Mengkonsolidasi lahan, mempertahankan morfologi kampung, melakukan proses pembangunan bertahap, menjadi solusi yang mungkin ditawarkan untuk mewujudkan suatu kualitas kehidupan yang lebih baik dengan seminimal mungkin mengorbankan kehidupan warga dan ikatan sosial yang sudah terjalin erat di antara mereka. Kemarin kami berusaha membagi kawasan menjadi beberapa sekuens hingga mengatur proses pembangunan dan pemindahan untuk menjamin bahwa warga masih bisa menempati kampung mereka. Rumit sih memang, dan keberhasilannya sangat-sangat bergantung pada beragam kondisi sehingga tidak bisa disamakan di semua lokasi. Tapi ini membuktikan, ada seribu satu pilihan selain menggusur warga kampung dan menempatkan mereka di rumah susun.

Bagaimanapun, kegiatan ini memberikan sebuah harapan baru bagi saya, bahwa masih ada inisiatif-inisiatif baik yang mungkin dilakukan untuk menengahi keinginan mereka yang memberikan instruksi top down dengan keinginan yang muncul secara bottom up. Yang bahkan bisa dikemas dalam sebentuk pembelajaran bagi mahasiswa yang berada di persimpangan jalan.

Teruntuk para warga yang sudah mengejutkan saya dengan kerelaannya untuk munggah, mundur, madhep kali demi Kali Winongo. 

Pasca penutupan, bersama tokoh masyarakat
Kalau ada yang bertanya penerapan konsep Low Carbon Ecodistrict-nya di mana, hmmm, kita obrolkan di lain waktu. Sekarang waktunya saya kembali ke rutinitas.

April 14, 2018

Belajar Menikmati Teh Tanpa Gula

Sirene pabrik berbunyi pukul 7, menandakan pergantian shift pekerja. Orang-orang berlalu-lalang dengan berjalan kaki ataupun mengendarai sepeda motor. Masing-masing kembali atau sedang menuju tempat kerjanya.
Di zona inti perkebunan teh Pagilaran
Pagi itu di kompleks Unit Perkebunan Pagilaran yang terletak di Kabupaten Batang, saya seperti me-refresh diri dari kepenatan. Walaupun terbangun dalam kondisi kurang fit pasca 5 jam perjalanan meniti lipatan-lipatan pegunungan di tengah Pulau Jawa, rupanya alam menyembuhkan saya. Mulanya saya dan kawan-kawan berniat untuk memulai hari dengan pemandangan matahari terbit di tengah kebun teh. Namun, karena kesiangan, alhasil kami harus puas berjalan-jalan di tengah hamparan perbukitan yang dipenuhi oleh tanaman Camellia Sinensis.

Walaupun sudah beberapa kali mengunjungi lokasi perkebunan teh (di Dieng dan di Tawangmangu), kunjungan kali ini terasa spesial. Saya bisa mengamati beberapa hal yang luput saya perhatikan dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya. Maka izinkan saya sedikit berbagi tentang pengalaman yang saya dapatkan kala itu.
Komplek permukiman pegawai di salah satu afdeling
Pertama-tama, komplek Unit Perkebunan Pagilaran ini merupakan sebuah kawasan yang cukup terintegrasi, secara umum terdiri dari zona permukiman, zona agrowisata, zona produksi (pabrik), dan zona perkebunan. Zona permukiman ini diperuntukkan untuk mengakomodasi para pegawai pabrik dan perkebunan. Rumah-rumahnya sangat sederhana, berdindingkan tembok dan kayu, beratapkan seng, dengan pola linear. Sedikit banyak serupa dengan rumah-rumah di Sabang, tempat mamak saya tinggal, tetapi bedanya, alih-alih bangunan individual, di sini satu bangunan besar disekat menjadi 3-5 unit rumah dengan halaman kecil sebagai pelengkapnya. Para penghuninya kemudian berkreasi  menghiasi halaman dengan tanaman hingga memelihara ternak di ruang yang mereka miliki. Sementara itu, berbagai amenitas penunjang terselip di berbagai sudut permukiman, seperti balai pengobatan, masjid, dan lapangan olahraga (yang akhirnya digunakan untuk lapangan parkir agrowisata).

Satu hal yang menarik, karena sebenarnya kompleks perkebunan ini sudah ada semenjak jaman penjajahan Belanda, maka beberapa bangunannya memiliki corak arsitektur kolonial. Kebanyakan bangunan ini kemudian digunakan sebagai fasilitas pendukung agrowisata, seperti penginapan dan meeting room. Salah satu yang paling saya sukai adalah rumah pemilik kebun, yang saat ini difungsikan sebagai Rumah Dinas direktur perusahaan. Bangunannya masih kokoh berdiri, walaupun ubinnya berwarna kemerahan menunjukkan sisa kebakaran yang pernah terjadi. Namun begitu, kemegahan dan kekuasaan masih tersirat dari bangunan tertinggi yang menghadap ke pabrik dan permukiman di bawahnya. 
Hamparan kebun teh di lipatan-lipatan perbukitan
Sesungguhnya, yang terbuka untuk publik hanyalah zona permukiman dan zona agrowisata, sementara zona pabrik dan perkebunan yang terletak lebih tinggi dari pabrik dibatasi aksesnya. Maka dari itu, beruntunglah saya kemarin dapat menjelajahi zona pabrik dan perkebunan hingga ke puncaknya, Puncak Jrakah. 

Karena jalanan di perkebunan hanya berupa susunan bebatuan selebar empat meter yang mengular sepanjang lekukan perbukitan (saya belum mention ya, lanskap tempat ini superb! Dari sononya sudah cantik) maka saya dan rombongan berkeliling menggunakan mobil. Di beberapa tempat, terdapat shelter pekerja kebun, bangunan sederhana yang hanya terdiri dari rangka besi dan atap seng. Di sinilah mereka berkumpul sebelum melakukan pekerjaan (entah itu memetik, menanam, memangkas, maupun perawatan lain seperti mencabuti gulma) dan untuk beristirahat makan siang. Di shelter ini pula, daun-daun teh yang sudah dipetik kemudian dikumpulkan dan diangkut menggunakan truk ke pabrik. 

Saya sempat heran, di kebun yang sangat luas (di atas 1000 hektar), bagaimana mungkin hanya ada sangat sedikit pekerja yang saya lihat? Pada dasarnya, perkebunan ini dibagi menjadi 3 afdeling (semacam sektor). Dalam pengelolaannya, masing-masing afdeling memiliki kelembagaan, memiliki pusat pemerintahan, permukiman, dan kawasan perkebunan sendiri yang dibagi menjadi blok-blok tertentu. Nah, untuk menjamin keberlangsungan produksi, maka proses pemangkasan, pemetikan, penanaman kembali dan pemeliharaan dilaksanakan secara bergiliran dalam blok-blok tersebut. Semuanya dikontrol dan diperhitungkan, pun apabila ada hama penyakit yang menyerang, penanganan dan peremajannya terekam dengan baik. Sebuah kombinasi manis pemanfaatan kecerdasan spasial dalam manajemen perkebunan.
Seorang ibu pemetik daun teh sedang menunggu rombongannya. Bisa jadi, kita sedang menyaksikan salah satu generasi terakhir pemetik daun teh yang tergantikan oleh alat pemetik daun teh.
Berikutnya saya dan rombongan beranjak untuk mengamati proses pembuatan teh di pabrik. Daun-daun yang dipetik oleh ibu-ibu di kebun dan diangkut menggunakan truk turun ke pabrik kemudian melewati beragam proses hingga akhirnya sampai di tangan konsumen. Singkatnya, daun teh harus melewati proses pelayuan, penggilingan, sortasi basah, pengoksidasian, sortasi kering, hingga pengepakan. Sebagian besar dilakukan dengan bantuan alat-alat produksi dan sebagian lainnya dikerjakan oleh pegawai pabrik. 

Walaupun sudah melewati beragam proses tersebut, pada akhirnya, tidak ada hasil-hasil pengolahan daun teh yang terbuang. Semuanya bisa menjadi produk yang dikonsumsi, dengan grade kualitas yang berbeda-beda. Penikmatnya, tentu saja bermacam-macam. Namun, justru teh berkualitas baik lebih banyak diimpor ke luar, karena permintaannya lebih banyak dari luar. Sementara permintaan teh dari dalam negeri tentu menyesuaikan dengan selera penikmat teh di Indonesia. 

Mendengar beragam percakapan selama kunjungan singkat ini, saya harus menyimpulkan bahwa budaya minum teh di Indonesia masih belum terbangun sebaik di berbagai negara lain seperti Cina, Jepang, Inggris, bahkan Pakistan. Di sana apresiasi atas teh sangatlah tinggi, kualitasnya betul diperhatikan. Pun caranya disajikan adalah suatu bentuk penghormatan kepada orang yang mengonsumsinya, tertuang dalam bentuk tradisi dan upacara yang membudaya.

Namun begitu, di sini, bagi kita teh adalah minuman sehari-hari, kawan yang setia dan mudah ditemui di mana sajaBagaimanapun pilihanmu untuk menikmatinya, panas-dingin, manis-tawar, instan-kantong-seduhan, dengan beragam jenis dan kualitas. Terhidang manis sebagai penyeimbang pedasnya santapan nasi dan ayam geprek di siang hari yang panas, atau menjadi seduhan nikmat kala udara dingin menyerang. Satu minuman yang merakyat, dijual mulai dari harga 2000 perak di angkringan dan burjo pinggir jalan, hingga puluhan ribu di kafe dan restoran mewah. Namun penghargaan atasnya tidaklah kurang, jangan kita lupa adanya upacara minum teh di istana-istana kraton, penghidangannya adalah satu kewajiban dan tradisi yang masih terus dilestarikan. 
Dihidangkan secangkir yellow tea.
Iya, setelah saya memahami prosesnya, dan mencoba menikmati beragam seduhan teh mulai dari yang biasa-biasa saja hingga yang eksklusif diolah dengan tangan, saya menjadi semakin mengapresiasi minuman ini. Seperti juga saya berusaha menghargai kopi, saya bertekad untuk belajar menikmati teh sebagai sebuah bentuk penghargaan untuk tangan-tangan yang terlibat dalam produksinya hingga tercipta uniknya cita rasa teh yang terhidang di cangkir saya. Secangkir teh tanpa gula. Pun begitu, sebagai orang Jawa tulen, saya tidak akan menolak ditawari teh yang nasgitel kok.

Yuk, ngeteh!


Dapat salam, dari adik-adik yang terlalu bahagia diajakin foto sepulang sekolah.

February 16, 2018

Seri Pemuda: Refleksi atas Cerita-Cerita Wawancara - Urgensi Pemuda yang Utama

It’s never too late nor too early. It’s never too big and grande nor too small and simple. Just be sincere. Having a dream is not a mistake, however silly it may seem at first. 
— Fadhila Nur Latifah Sani

Selamat malam,

Tulisan ini dimulai ketika saat itu jadwal harian saya kembali jatuh pada rutinitas yang selalu dihadapi saat rekrutmen organisasi, yakni… wawancara. 

Saya masih ingat, dulu ketika awalnya memutuskan untuk menyemplungkan kaki di organisasi kampus, saya tidak menyukai seleksi wawancara. Kenapa? Karena saya tidak merasa nyaman membicarakan hal-hal personal dengan orang yang baru saya temui pertama kali, dalam forum yang intimate, dengan waktu yang panjang, di mana saya harus membuka diri dan mengungkapkan hal-hal yang menurut saya ketika itu, berada dalam lekuk-lekuk terdalam pikiran saya. Apresiasi terbaik saya berikan kepada orang yang berhasil menyelami lekukan pikiran saya, seberapapun absurdnya itu.
Siapa sangka, 2 tahun setelahnya, saya berada dalam posisi di mana saya harus menjadi interviewer, bukan lagi sebagai interviewee

Kemudian sekarang, sekian lama setelah tulisan ini pertama kali saya mulai, saya ingin merefleksikan kembali beberapa fenomena yang saya temukan dalam proses mewawancara itu. Walaupun begitu, pertama izinkan saya untuk mengakui bahwa, saya bukanlah seorang interviewer yang sepenuhnya paham ilmunya, pun bukan pula interviewee yang selalu berhasil lolos tahapan wawancara(bahkan lebih sering gagalnya). Tapi dari segala proses dan kegagalan itulah maka saya melanjutkan tulisan ini malam ini.

Tujuan dari wawancara organisasi yang saya lakukan tidak lain adalah untuk mengetahui siapakah si interviewee dilihat dari latar belakang, sikap dan komitmennya. Semuanya dirumuskan terlebih dahulu di awal, kemudian pewawancara hanya perlu untuk mengikuti sop yang sudah ditentukan sebelumnya. Terkadang saya juga suka menambahkan pertanyaan-pertanyaan iseng untuk mencari tahu lebih tentang kehidupan mereka, terutama tentang apa yang menjadi tujuan hidup seseorang, atau mudahnya mungkin kita sebut sebagai cita-cita. 

Hasilnya? Tidak sedikit saya temukan kawan-kawan saya ini yang nasibnya sama seperti saya ketika saya menghadapi situasi wawancara pada masanya. Bingung, atau mungkin lebih tepatnya tidak punya jawaban yang pasti. Sementara saya sok-sokan mau membuat rencana ruang hidup untuk kepentingan masyarakat, sendirinya tidak punya rencana hidup yang konkret. Ketika ditanya apa yang mau dilakukan, jawabannya mengambang, mengawang dan disampaikan dengan ketidakyakinan pada pernyataan yang dikeluarkan. 

Mulanya saya kira ini adalah suatu hal yang saya temukan hanya di lingkungan kampus saya saja. Tetapi ternyata, ketika berkesempatan berdiskusi dengan Ustadz @emfatan, kegamangan ini beliau temukan pada banyak sosok pemuda di berbagai tempat dan kesempatan. Maka izinkan saya sedikit membahas hasil diskusi dengan beliau dalam forum On Building Prime Youth #1: Urgensi Pemuda Utama yang saya ikuti dua pekan lalu.

Apa hubungannya? Kenapa kemudian mempermasalahkan hidup orang lain, toh mereka punya cara menjalani hidupnya masing-masing bukan? 

Tahan di situ. Bagi saya pribadi, semenjak membaca buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku yang ditulis oleh Jamil Azzaini, saya menginsafi urgensi untuk memiliki sebuah rencana hidup yang jelas dan terperinci. Beberapa argumen penguat pernyataan ini bisa coba dibaca di sini atau di sini. Tapi mudahnya begini. Bayangkan kota tempat tinggal kita, dengan segala kondisinya yang sekarang, nyamannya atau kacaunya. Kemudian bayangkan 20 tahun dari sekarang, seperti apa kota kita akan berubah? Lebih baik atau lebih buruk? Ketika kita tidak memiliki sebuah rencana/guideline/goal yang jelas untuk kota kita, maka ia akan berkembang terhimpit berbagai kepentingan. Terus mengikuti arus bisa membawa kota menuju berbagai pilihan kondisi, baik itu menjadi kota metropolis yang livable, kota pariwisata yang kekurangan infrastruktur, atau malah, kota yang mati. 

Hal ini sama terjadi dengan hidup kita. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau merencanakan arah hidup dengan target kebaikan, ataukah membiarkannya terombang-ambing mengikuti arus kehidupan?

Ada satu cerita tertutur saat diskusi sore itu, tentang 4 orang anak muda yang nongkrongnya di samping Ka’bah, bagian dari generasi terbaik pada masanya (fyi, paling tidak ada 220 sahabat nabi yang masuk dalam kategori muda). Sebutlah ada Abdullah bin Zubair, Mus’ab bin Zubair, Urwah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwah. Mereka ini bukannya lagi interview untuk rekruitmen organisasi manapun, tapi saling sharing tentang cita-cita yang ingin mereka capai selama hidup. 

Dua bersaudara Abdullah bin Zubair dan Mus’ab bin Zubair sama-sama ingin menaklukkan Hijaz, sebuah wilayah di bagian barat Arab Saudi yang waktu itu belum dikuasai Islam. Abdul Malik bin Marwah sementara itu lebih ingin untuk menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Terakhir, Urwah bin Zubair mengutarakan keinginannya untuk memiliki ilmu dan kepahaman terhadap dien/agamanya, sehingga dapat menyebarkan pesan-pesan kebaikan Islam. 

Dikisahkan kemudian, cita-cita yang awalnya bermula sebagai obrolan ringan di antara mereka berempat, akhirnya berhasil tercapai. Kok bisa? Yah bisa, namanya juga anak muda. Harusnya yang muda-muda begini nih, alih-alih mengamini perkataan orang yang menganggap biasa kenakalan remaja di era informatika sebagai hal yang lumrah dengan pembenaran, “Yah, anak muda jaman sekarang.” 

Pada dasarnya, masa muda itu adalah masa di mana kita bisa belajar bertanggungjawab, berada dalam fase kuat yakni usia paling utama di setiap hal (jasmani & rohani), dan alhamdulillah-nya usia ini adalah usia paling panjang dalam hidup. Di masa-masa inilah manusia lebih mudah menerima kebenaran, dan dengan segala kelebihannya tsb bisa memberikan kontribusi maksimal serta memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Makanya dulu golongan muda yang nyulik Soekarno-Hatta dan mendorong beliau berdua untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Pada titik ini kemudian saya bertanya pada diri sendiri, kalau saya, cita-citanya apa? Sudah jadi bagian dari golongan pemuda yang utama belum?

Hingga akhirnya, rasanya kita semua punya PR besar. Peradaban-peradaban besar yang ada rupanya terbentuk karena kekuatan generasi mudanya (baik secara kualitas maupun kuantitas) yang menggebu-nggebu melakukan perubahan. Indonesia kita, punya kesempatan emas memanfaatkan puncak bonus demografi di tahun 2030. Tahun itu, kita akan memiliki lebih banyak penduduk usia produktif dibandingkan penduduk usia tidak produktif. 

Pertanyaannya lagi, di masa depan itu, Indonesia akan tinggal landas menjadi negara maju, atau tercebur kubangan lumpur ketertinggalan yang semakin parah? 

Sepertinya semua tergantung kita, para pemuda, mau jadi pemuda utama atau mau jadi pemuda penganut kenakalan remaja di era informatika.

Referensi:
  1. Kultwit @JANtraining tentang On Building Prime Youth #1: Urgensi Pemuda Utama https://chirpstory.com/li/381229
  1. https://www.abanaonline.com/2016/11/kisah-urwah-bin-zubair-yang-tabah-dalam-menerima-musibah.html

Disclaimer:
Ingatan saya pendek, catatan saya terbatas, bacaan dan kajian saya masih sangat dangkal, belum lagi nulisnya suka sembrono. Jadi, kalau ada fakta-fakta yang terbelokkan dengan tidak sengaja, atau pesan-pesan yang kurang pas, tolong saya dijawil, maturnuwun.