September 11, 2017

Ekspedisi Ujung Barat Indonesia: Pengenalan dan Perkenalan

“Mbak, aku mau KKN di tempat mu, dong!”

Hehe, yakin? Nanti kamu ngga bisa mainan kartu, ngga boleh pakai celana pendek di luar rumah, ngga bisa bikin acara dangdutan, dan harus prihatin kalau mau seru-seruan sendiri di posko. Yah, sebenernya ngga gitu banget juga sih, tapi intinya, seperti keinginanmu mengabdi ke tempat-tempat lainnya di penjuru Indonesia, selalu ada yang harus dikorbankan dan kamu harus berusaha untuk beradaptasi dengan lingkunganmu.

Kalau kamu tanya pengalaman KKN aku seru atau engga, maka aku akan bilang, seru! Walaupun seru versi aku dengan seru versi kamu, dan seru versi orang-orang lain pasti berbeda. Karena kalau aku dengar cerita tim-tim lain, mereka mungkin punya lebih banyak hal baru dan menarik untuk diceritakan.

Pelabuhan Jurong Mustika Kolam Bermata

Kehidupan KKN aku biasa-biasa saja, percayalah! Kelompok aku ngga mengalami drama kehidupan yang menghebohkan pun terlalu tidak biasa. Kami hidup pada umumnya orang hidup, di ruang waktu yang lebih lambat satu jam dari waktu Indonesia bagian barat yang biasa kami rasa. Di pulau kecil yang secara administratif diakui sebagai kota, tetapi kota fungsionalnya hanya ada di satu sudut saja dan sisanya adalah hutan perbukitan. 

Pada awalnya, rasanya serba excited! Dalam perjalanan menuju Sabang, kami singgah di Kota Banda Aceh yang memikat mata dan menyejukkan hati, Bung! Betapa bahagianya warga lokal Pulau Jawa satu ini bisa menginsafi keindahan Masjid Baiturrahman di malam Bulan Ramadhan. And that excitement grows until we arrived on Sabang, yang hijaunya pepohonan di perbukitannya berpadu dengan gradasi biru lautan dan sang langit siang, bikin jatuh hati di pandangan pertama.
Tapi sebentar, panasnya luar biasa, Bung! Semoga mereka memaafkan aku dan kawan-kawan; Mamak, Ayah, di awal pertemuan itu bukannya kami tidak ingin beramah tamah dan memulai perkenalan kita dengan sesuatu yang baik. Namun, siapa yang tahan dengan teriknya matahari di siang itu? Untunglah Mamak dan Ayah pengertian dan mempersilahkan kami beristirahat sampai adzan memanggil tuk berbuka.

Keresahan pertama yang benar-benar aku rasakan adalah, ternyata jadi anak desa itu, hidupnya selo! Di Bulan Ramadhan itu, tidak banyak program yang bisa dilakukan. Mana bisa kalau sekolahan libur, TPA libur, toko-toko tutup siang buka lagi malam. Mau eksplor ngga punya kendaraan, ngga kuat jalan naik turun bukit, aih, gampong ini terlalu luas untuk dijelajahi dengan kaki di siang bolong. Pun novel yang aku bawa dari rumah terlalu cepat berganti halaman dan mencapai akhir kisah fiksinya. Sungguh, rasanya waktu berlalu lambat dan kegabutannya begitu menyesakkan. Namun di sela selo itulah aku mulai berkenalan dengan Gampong Krueng Raya dan segenap isinya. 

Kalau kamu tanya kesan pertama aku sama gampong (desa) ini apa? Absurd! Ini desa apaan kok rumah-rumahnya kaya perumahan? Tipenya sama, atapnya serasi, jalanannya grid. Beuh, udah macam di kota aja. Dan kenyataannya, di turunan pertama menuju pondokan, aku melihat apa yang aku lihat di peta citra itu ternyata adalah sebuah kenyataan. Kompleks perumahan itu dibangun oleh pemerintah kota untuk mengakomodasi para nelayan (sebagian penduduk asli dan sebagian korban penggusuran akibat proyek pelebaran jalan di Kota Sabang) maupun korban tsunami Aceh 2004. Kompleksnya tersebar di beberapa lokasi dalam beberapa jurong (dusun). Kompleks nelayan hanya ada di Jurong Mustika Kolam Bermata, sementara kompleks tsunami ada di Jurong Teupin Ciriek, Jurong Mustika Kolam Bermata dan Jurong Ilham Syukuran. Di dua jurong lainnya dalam gampong ini, yakni di Jurong Batu Singa Berfakta maupun Jurong Lhok Drien, rumah-rumah yang ada tumbuh secara organik, seperti pada umumnya di desa-desa.

Pondokan aku sendiri, adanya di Kompleks Nelayan, Jurong Mustika Kolam Bermata. Tepatnya di lorong (gang) kedua, persis setelah SD yang katanya kena terjangan tsunami dulu, jadi kalau ada tsunami lagi (yang alhamdulillahnya tidak), entah apakah rumah kami selamat atau tidak. Setiap pagi apabila aku terbangun pagi dan cukup nyali melangkah keluar rumah menyambut udara yang dingin, aku akan menemukan dua anjing tetangga yang berkeliaran di jalanan, tempat nongkrong mamak di bawah pohon rambutan alasnya basah karena embun, orang-orang mulai keluar rumah untuk nyapu halaman, dan selebihnya sepi, hanya terkadang ada kendaraan lewat di jalan di atas bukit yang terdengar hingga ke lembah ini. 


Gg. Delima, yang sebelah kiri pondokan saya


Di dalam sebuah rumah sederhana, yang dindingnya terbuat dari papan kayu sehingga suara-suara tidak tertutupi dengan sepenuhnya. Di situ aku tinggal bersama tiga orang saudari KKN, tiga saudari asuh, mama yang sangat perhatian dan ayah yang paling ganteng di rumah. Dari sanalah kisah setiap hari pengabdianku bermula.




----
Untuk dilanjutkan kemudian


Books

Akhir-akhir ini saya ngga pernah tahan ngga beli buku, suka tiba-tiba pengen beli ketika liat buku yang menarik, apalagi kalau murah dan lagi diskon, kalap men! Prinsipnya gampang, ngga perlu punya banyak uang, cukup siap-siap berkorban menahan nafsu jajan setelah ngeborong buku. Bahkan saya lebih kalap liat buku bagus daripada liat baju, makanan dan barang-barang lainnya.

Kalau ditanya dari kapan saya mulai menyukai buku, maka saya harus jawab, sepanjang ingatan, bahkan sebelum bisa membaca, buku dan cerita adalah salah satu teman terbaik masa kecil saya. Main sama sepupu-sepupu atau teman-teman, kita duduk bareng bolak-balik buku bacaan.

Semuanya karena orangtua saya yang sama-sama suka baca. Ini adalah salah satu hal yang saya harus berterima kasih sekali kepada mereka, yang mengajarkan saya mencintai membaca dan menulis semenjak kecil. Kala itu, malam har tak akan terlewat tanpa Bapak yang membacakan buku cerita di tengah tempat tidur saya dan abang hingga kami terlelap, dan mencium kening kami penuh sayang. Sementara di pagi harinya giliran ibu yang menemani kami membaca buku dengan beragam topik, mengajarkan membaca dan menulis sebelum kami masuk TK, mengizinkan kami ikut ke kantor beliau kala itu di sebuah penerbit buku, menyempatkan mampir ke persewaan buku saat menjemput dari sekolah, dan selalu mengapresiasi cerita-cerita pendek yang suka iseng saya tulis.

Akhirnya, waktu TK selain manjat-manjat apollo, main pasir, tinggi-tinggian main ayunan, naik prosotan dan jungkat-jungkit atau berantem, salah satu tempat favorit saya adalah perpustakaan. Yang isinya buku-buku Franklin kura-kura atau Winnie the Pooh. Waktu SD, baca komik Doraemon, Tintin, Asterix Obelix, Ramayana, Kisah-kisah Nabi dan Rasul, novel Harry Potter, Lima Sekawan, novel teenlit galau, sampai koleksi novel Ahmad Tohari punya simbah bisa selesai dibabat. Lanjut waktu SMP dan SMA, masih beragam judul novel dan majalah, yang sebagian besar pinjaman, saya habiskan juga lembar demi lembar.

Sampai sekarang, buku favorit saya tetap buku fiksi. Walaupun mulai berusaha membaca buku-buku non-fiksi dengan perjuangan berkali-kali lipat. Hahahaha.

Beruntungnya saya dikelilingi perpustakaan-perpustakaan oke, orang-orang keren yang punya koleksi buku yang beragam, jadi bisa dibilang saya ngga pernah kehabisan buku bacaan.
Sekarang giliran saya pengen jadi bagian dari ke oke an dan kekerenan itu, dan lagi-lagi karena akhir-akhir ini kalap banget beli buku, koleksi saya cukup menggunung, dalam artian nganggur di rak buku entah belum terbaca atau sudah diselesaikan. Walaupun mungkin ngga memenuhi selera teman-teman, tapi kalau pengen ngobrol tentang buku, pengen tau apa yang saya baca, bahkan pengen pinjam buku saya, feel free to contact me.

At last, please spread your love for books and literacy.

dari medium.com
tertanggal 16 Januari 2017