April 14, 2018

Belajar Menikmati Teh Tanpa Gula

Sirene pabrik berbunyi pukul 7, menandakan pergantian shift pekerja. Orang-orang berlalu-lalang dengan berjalan kaki ataupun mengendarai sepeda motor. Masing-masing kembali atau sedang menuju tempat kerjanya.
Di zona inti perkebunan teh Pagilaran
Pagi itu di kompleks Unit Perkebunan Pagilaran yang terletak di Kabupaten Batang, saya seperti me-refresh diri dari kepenatan. Walaupun terbangun dalam kondisi kurang fit pasca 5 jam perjalanan meniti lipatan-lipatan pegunungan di tengah Pulau Jawa, rupanya alam menyembuhkan saya. Mulanya saya dan kawan-kawan berniat untuk memulai hari dengan pemandangan matahari terbit di tengah kebun teh. Namun, karena kesiangan, alhasil kami harus puas berjalan-jalan di tengah hamparan perbukitan yang dipenuhi oleh tanaman Camellia Sinensis.

Walaupun sudah beberapa kali mengunjungi lokasi perkebunan teh (di Dieng dan di Tawangmangu), kunjungan kali ini terasa spesial. Saya bisa mengamati beberapa hal yang luput saya perhatikan dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya. Maka izinkan saya sedikit berbagi tentang pengalaman yang saya dapatkan kala itu.
Komplek permukiman pegawai di salah satu afdeling
Pertama-tama, komplek Unit Perkebunan Pagilaran ini merupakan sebuah kawasan yang cukup terintegrasi, secara umum terdiri dari zona permukiman, zona agrowisata, zona produksi (pabrik), dan zona perkebunan. Zona permukiman ini diperuntukkan untuk mengakomodasi para pegawai pabrik dan perkebunan. Rumah-rumahnya sangat sederhana, berdindingkan tembok dan kayu, beratapkan seng, dengan pola linear. Sedikit banyak serupa dengan rumah-rumah di Sabang, tempat mamak saya tinggal, tetapi bedanya, alih-alih bangunan individual, di sini satu bangunan besar disekat menjadi 3-5 unit rumah dengan halaman kecil sebagai pelengkapnya. Para penghuninya kemudian berkreasi  menghiasi halaman dengan tanaman hingga memelihara ternak di ruang yang mereka miliki. Sementara itu, berbagai amenitas penunjang terselip di berbagai sudut permukiman, seperti balai pengobatan, masjid, dan lapangan olahraga (yang akhirnya digunakan untuk lapangan parkir agrowisata).

Satu hal yang menarik, karena sebenarnya kompleks perkebunan ini sudah ada semenjak jaman penjajahan Belanda, maka beberapa bangunannya memiliki corak arsitektur kolonial. Kebanyakan bangunan ini kemudian digunakan sebagai fasilitas pendukung agrowisata, seperti penginapan dan meeting room. Salah satu yang paling saya sukai adalah rumah pemilik kebun, yang saat ini difungsikan sebagai Rumah Dinas direktur perusahaan. Bangunannya masih kokoh berdiri, walaupun ubinnya berwarna kemerahan menunjukkan sisa kebakaran yang pernah terjadi. Namun begitu, kemegahan dan kekuasaan masih tersirat dari bangunan tertinggi yang menghadap ke pabrik dan permukiman di bawahnya. 
Hamparan kebun teh di lipatan-lipatan perbukitan
Sesungguhnya, yang terbuka untuk publik hanyalah zona permukiman dan zona agrowisata, sementara zona pabrik dan perkebunan yang terletak lebih tinggi dari pabrik dibatasi aksesnya. Maka dari itu, beruntunglah saya kemarin dapat menjelajahi zona pabrik dan perkebunan hingga ke puncaknya, Puncak Jrakah. 

Karena jalanan di perkebunan hanya berupa susunan bebatuan selebar empat meter yang mengular sepanjang lekukan perbukitan (saya belum mention ya, lanskap tempat ini superb! Dari sononya sudah cantik) maka saya dan rombongan berkeliling menggunakan mobil. Di beberapa tempat, terdapat shelter pekerja kebun, bangunan sederhana yang hanya terdiri dari rangka besi dan atap seng. Di sinilah mereka berkumpul sebelum melakukan pekerjaan (entah itu memetik, menanam, memangkas, maupun perawatan lain seperti mencabuti gulma) dan untuk beristirahat makan siang. Di shelter ini pula, daun-daun teh yang sudah dipetik kemudian dikumpulkan dan diangkut menggunakan truk ke pabrik. 

Saya sempat heran, di kebun yang sangat luas (di atas 1000 hektar), bagaimana mungkin hanya ada sangat sedikit pekerja yang saya lihat? Pada dasarnya, perkebunan ini dibagi menjadi 3 afdeling (semacam sektor). Dalam pengelolaannya, masing-masing afdeling memiliki kelembagaan, memiliki pusat pemerintahan, permukiman, dan kawasan perkebunan sendiri yang dibagi menjadi blok-blok tertentu. Nah, untuk menjamin keberlangsungan produksi, maka proses pemangkasan, pemetikan, penanaman kembali dan pemeliharaan dilaksanakan secara bergiliran dalam blok-blok tersebut. Semuanya dikontrol dan diperhitungkan, pun apabila ada hama penyakit yang menyerang, penanganan dan peremajannya terekam dengan baik. Sebuah kombinasi manis pemanfaatan kecerdasan spasial dalam manajemen perkebunan.
Seorang ibu pemetik daun teh sedang menunggu rombongannya. Bisa jadi, kita sedang menyaksikan salah satu generasi terakhir pemetik daun teh yang tergantikan oleh alat pemetik daun teh.
Berikutnya saya dan rombongan beranjak untuk mengamati proses pembuatan teh di pabrik. Daun-daun yang dipetik oleh ibu-ibu di kebun dan diangkut menggunakan truk turun ke pabrik kemudian melewati beragam proses hingga akhirnya sampai di tangan konsumen. Singkatnya, daun teh harus melewati proses pelayuan, penggilingan, sortasi basah, pengoksidasian, sortasi kering, hingga pengepakan. Sebagian besar dilakukan dengan bantuan alat-alat produksi dan sebagian lainnya dikerjakan oleh pegawai pabrik. 

Walaupun sudah melewati beragam proses tersebut, pada akhirnya, tidak ada hasil-hasil pengolahan daun teh yang terbuang. Semuanya bisa menjadi produk yang dikonsumsi, dengan grade kualitas yang berbeda-beda. Penikmatnya, tentu saja bermacam-macam. Namun, justru teh berkualitas baik lebih banyak diimpor ke luar, karena permintaannya lebih banyak dari luar. Sementara permintaan teh dari dalam negeri tentu menyesuaikan dengan selera penikmat teh di Indonesia. 

Mendengar beragam percakapan selama kunjungan singkat ini, saya harus menyimpulkan bahwa budaya minum teh di Indonesia masih belum terbangun sebaik di berbagai negara lain seperti Cina, Jepang, Inggris, bahkan Pakistan. Di sana apresiasi atas teh sangatlah tinggi, kualitasnya betul diperhatikan. Pun caranya disajikan adalah suatu bentuk penghormatan kepada orang yang mengonsumsinya, tertuang dalam bentuk tradisi dan upacara yang membudaya.

Namun begitu, di sini, bagi kita teh adalah minuman sehari-hari, kawan yang setia dan mudah ditemui di mana sajaBagaimanapun pilihanmu untuk menikmatinya, panas-dingin, manis-tawar, instan-kantong-seduhan, dengan beragam jenis dan kualitas. Terhidang manis sebagai penyeimbang pedasnya santapan nasi dan ayam geprek di siang hari yang panas, atau menjadi seduhan nikmat kala udara dingin menyerang. Satu minuman yang merakyat, dijual mulai dari harga 2000 perak di angkringan dan burjo pinggir jalan, hingga puluhan ribu di kafe dan restoran mewah. Namun penghargaan atasnya tidaklah kurang, jangan kita lupa adanya upacara minum teh di istana-istana kraton, penghidangannya adalah satu kewajiban dan tradisi yang masih terus dilestarikan. 
Dihidangkan secangkir yellow tea.
Iya, setelah saya memahami prosesnya, dan mencoba menikmati beragam seduhan teh mulai dari yang biasa-biasa saja hingga yang eksklusif diolah dengan tangan, saya menjadi semakin mengapresiasi minuman ini. Seperti juga saya berusaha menghargai kopi, saya bertekad untuk belajar menikmati teh sebagai sebuah bentuk penghargaan untuk tangan-tangan yang terlibat dalam produksinya hingga tercipta uniknya cita rasa teh yang terhidang di cangkir saya. Secangkir teh tanpa gula. Pun begitu, sebagai orang Jawa tulen, saya tidak akan menolak ditawari teh yang nasgitel kok.

Yuk, ngeteh!


Dapat salam, dari adik-adik yang terlalu bahagia diajakin foto sepulang sekolah.