May 15, 2018

Para Pemberontak yang Romantis — Sebuah Renungan Pasca Workshop Low Carbon Ecodistrict

Sesi diskusi yang setiap harinya bisa 
berlangsung 8-12 jam!
Di tahun terakhir saya kuliah, kembali saya diingatkan bagaimana perjuangan menjadi mahasiswa baru di program studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Masa-masa studio kawasan yang berjalan 3–6 bulan itu kira-kira saya alami kembali dalam kurun waktu 2 pekan ke belakang, tentu saja dengan tantangan yang sungguh berbeda. (Pada akhirnya ini menjadi pengalaman yang menampar manis: Sudah siap jadi Urban Planner?)

Siapa bilang jadi mahasiswa tingkat akhir lalu kamu akan dengan mudah menyelesaikan tugas perencanaan kawasan yang notabene sudah khatam kamu lakukan di tahun pertamamu kuliah? Big no. Sebagai anak PWK yang kurang pede dalam merencanakan skala kawasan karena otaknya ngga kreatif-kreatif amat, kegiatan Intensive Contest and International Workshop, Re-think the City for a Low Carbon Ecodistrict ini menjadi satu pengalaman yang sangat berharga.

Segalanya sudah dipersiapkan dengan baik oleh panitia kegiatan dari Kementerian PU, Ademe dan French Embassy di Indonesia. Kegiatan workshop ini adalah bagian dari satu usaha panjang membuat satu proyek percontohan low carbon ecodistrict di dua tempat, yakni di Kampung Gampingan, Yogyakarta dan Kampung Sruni, Wonosobo. Sebagai peserta saya sangat dimanja. Bukan tentang akomodasi dan konsumsi yang selalu tersedia bahkan tumpah ruah. Namun, tentang analisis kawasan yang sudah dilakukan sebelumnya. Di awal workshop kami sudah memegang satu dokumen term of reference berisi gambaran wilayah perencanaan dari tingkat kota hingga kampung, analisis kondisi keruangan dan non-keruangan, paparan harapan warga kampung, hingga arahan program yang akan dilakukan dan pilihan sistem infrastruktur yang bisa digunakan untuk mendukung konsep low carbon
Presentasi di hadapan warga kampung

Berarti seharusnya peserta sudah tinggal membuat perencanaan dan desain saja dong? Yah, pada dasarnya mungkin informasi awal itu sudah sangat cukup dan kami hanya perlu mengkonfirmasi beberapa hal kepada warga dan mengecek kondisi di lapangan secara langsung. Namun, alih-alih berpegang teguh pada dokumen TOR tersebut, kami — utamanya kelompok saya — bersepakat untuk menjadi sepasukan pemberontak. 

Mudah saja, semua orang memiliki cara pandangnya masing-masing. Satu kelompok terdiri dari orang-orang yang sangat heterogen (latar belakangnya sungguh berbeda, baik dari segi bangsa, bahasa, budaya, hingga keilmuan). Bagaimana kami kemudian mengklasifikasikan suatu kondisi sebagai masalah maupun potensi, mengkomunikasikan ide, dan menilai mana yang adil maupun tidak sebagai suatu solusi adalah satu tantangan tersendiri. Kalau kita sibuk mencari perbedaannya, lah rasanya kok tidak akan selesai ya.

Menikmati kampung di tengah keterbatasan ruang
Di antara pemberontakan kami yang paling membuat pusing panitia hingga kami berdebat lama bahkan dalam forum diskusi di hadapan para warga adalah tentang aturan sempadan sungai yang mengharuskan kami memberikan ruang kepada sungai dalam besaran tertentu. Hingga akhirnya kami tetap bisa keukeuh mempertahankan prinsip awal desain kawasan kami dan mencoba untuk mengakomodasi persyaratan dalam peraturan tersebut.

Yah begitulah, dinamikanya terlalu menarik. Sebagai tim yang terdiri dari urban planner, urban designer, landscape architect, sustainable architect dan architect, serta memiliki supervisor yang architect, urban designer, urbanist dan historian, kami dituntut untuk menjadi profesional yang harus bisa menemukan permintaan dari dua klien yakni warga dan pemerintah, menggabungkan proses perencanaan top down dan bottom up, menghasilkan satu produk rencana di skala urban, district dan building. Menakjubkannya, sebenarnya proses yang menyita hati dan pikiran ini menjadi salah satu bentuk perwujudan angan saya tentang studio yang ideal seharusnya. 

Kehidupan di tengah ruang publik
Lalu, di akhir program ini saya termenung. 

Studi kasus yang diangkat di Yogyakarta dan menjadi lokasi kajian kelompok saya sebenarnya adalah kawasan yang mau tidak mau kita kategorikan sebagai kumuh. Dengan kondisi bangunan semi permanen yang mayoritas tidak layak huni, talud yang sudah tergerus, tanah yang kepemilikannya dipertanyakan dan kawasan yang terancam banjir bandang sepuluh tahunan, belum lagi tumpukan sampah di pinggir sungai dan kondisi sanitasi yang tidak memadai, tapi ternyata kita masih bisa menemukan romantisme di gang-gangnya yang sempit, berliku dan berundak, di sela rumah-rumah yang dibangun sedikit-sedikit dan seadanya, dalam sebaris antrian kamar mandi dan celotehan warga yang berkumpul di sisa-sisa ruang yang tersedia. Suatu romantisme kehidupan kota yang hanya bisa kamu temukan di kampung.

Survei, dibantu anak-anak
Sebuah romantisme yang mendasari pemberontakan pada peraturan. Saya tidak menolak fakta bahwa merumahkan kembali orang-orang yang hidup dalam kondisi ini adalah satu tindakan yang menjadi kewajiban moral para urbanis. Serta bahwa dalam beberapa kasus, rumah yang tidak layak mungkin lebih baik tidak dipertahankan. Namun, alih-alih mengamini proses penggusuran dan relokasi yang menimbulkan lebih banyak konflik dibandingkan kepuasan warganya, kami memilih pendekatan yang sekiranya lebih halus, suatu proses urban renewal yang humanis. 

Mengkonsolidasi lahan, mempertahankan morfologi kampung, melakukan proses pembangunan bertahap, menjadi solusi yang mungkin ditawarkan untuk mewujudkan suatu kualitas kehidupan yang lebih baik dengan seminimal mungkin mengorbankan kehidupan warga dan ikatan sosial yang sudah terjalin erat di antara mereka. Kemarin kami berusaha membagi kawasan menjadi beberapa sekuens hingga mengatur proses pembangunan dan pemindahan untuk menjamin bahwa warga masih bisa menempati kampung mereka. Rumit sih memang, dan keberhasilannya sangat-sangat bergantung pada beragam kondisi sehingga tidak bisa disamakan di semua lokasi. Tapi ini membuktikan, ada seribu satu pilihan selain menggusur warga kampung dan menempatkan mereka di rumah susun.

Bagaimanapun, kegiatan ini memberikan sebuah harapan baru bagi saya, bahwa masih ada inisiatif-inisiatif baik yang mungkin dilakukan untuk menengahi keinginan mereka yang memberikan instruksi top down dengan keinginan yang muncul secara bottom up. Yang bahkan bisa dikemas dalam sebentuk pembelajaran bagi mahasiswa yang berada di persimpangan jalan.

Teruntuk para warga yang sudah mengejutkan saya dengan kerelaannya untuk munggah, mundur, madhep kali demi Kali Winongo. 

Pasca penutupan, bersama tokoh masyarakat
Kalau ada yang bertanya penerapan konsep Low Carbon Ecodistrict-nya di mana, hmmm, kita obrolkan di lain waktu. Sekarang waktunya saya kembali ke rutinitas.