June 27, 2018

Ketika Jogja Ditinggal Mudik


Kendaraan roda dua yang biasanya memenuhi jalanan manggrok di dalam pagar kos-kosan. Pemiliknya pergi setelah memastikan kamar kosannya bersih dan rapi, barang bawaannya tidak tertinggal, sembari menyangking oleh-oleh bakpia untuk handai taulan di kampung halaman. Hanya sempat sekilas menengok pintu kosan yang tertutup rapat, mengunci motor dan menutup lubang kuncinya, tergesa tidak sempat berpamitan dengan pemilik kosan yang toh kemungkinan tidak ada di rumah karena sudah ditunggu tukang ojek online

Jalanan lengang, mobil-mobil berplat AB mulai digantikan dengan beragam plat yang lain, tapi aduh mereka tidak bisa menggantikan keramaian yang absen dihadiri para perantau. Beberapa rumah makan bersaing dengan restoran cepat saji setia melayani segelintir orang tidak beruntung yang bertahan di kota ini selama hari raya. Sementara para aa’ burjo meninggalkan warung mereka dan meninggalkan tanah jawa, dan ibu-ibu laundry menutup jasa mereka untuk sementara waktu. 

Alih-alih mahasiswa lokal, kini populasi mahasiswa yang merantau ke luar Jogja sepertinya lebih banyak. Tapi toh barista kedai-kedai kopi menikmati liburan singkat mereka, tak perlu meladeni mahasiswa yang kebanyakan nugas sembari nongkrong, Menjeda diri dari rentetan keluhan banyaknya laporan dan jadwal ujian yang tidak manusiawi. Para mahasiswa tingkat akhir pun bisa sejenak bernapas dan melupakan beban tugas akhir mereka, hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “kapan lulus?” dan buntutnya yang lebih panjang. Kampus? Jangan ditanya. Hanya daun-daun berguguran yang mau memenuhi kekosongan di dalamnya. Bahkan Pak Satpam pun enggan menjaga portal dan menutupnya biar mereka yang mau bernostalgia berjalan kaki saja masuk ke dalam rimbanya. 

Walaupun bus-bus trans jogja sepi penumpang, mereka bertahan melakukan putaran rutin yang kini tidak mengantarkan siapa-siapa. Orang-orang lebih memilih meramaikan tempat wisata dengan kendaraan pribadi yang sudah menempuh puluhan hingga ratusan kilometer untuk mencapai rumah. Tempat pulang hanya bagi mereka yang pernah merasa tinggal di sana, bukan bagi pasangan atau keturunannya yang merasa rumah hanyalah tempat singgah dan mudik adalah perjalanan untuk bepergian. 

Letusan-letusan mercon bersaing dengan ledakan-ledakan kembang api yang memeriahkan malam lebaran. Bunyinya sejenak memutus gema takbir dari toa masjid-masjid setempat, hanya untuk mengizinkannya kembali bersambung. Sementara mereka yang tinggal di lingkungan perumahan penuh dengan orang-orang tua tidak diizinkan untuk nyumet keduanya, kertas-kertas bekas mercon beterbangan di sisi jalan keesokan harinya. 


Aduh sampah! Ada sampah bekas bungkus makanan dan minuman kemasan, ada sampah bungkus ketupat dan lontong, ada sampah koran yang berserakan di lapangan tempat shalat ied, ada sampah dilempar ke jalanan oleh para penumpang mobil yang kurang ajar dan tidak tahu diuntung. Piyungan sepertinya sebentar lagi akan kelebihan muatan, tapi toh kita tidak perlu memedulikannya selagi sapi-sapi di sana tetap gemuk, para pemulung mendapatkan uang untuk bertahan hidup, dan sampah itu tidak menggunung di sekitar tempat tinggalku. 

Oh tidak, bahkan apabila gunung sampah itu longsor ataupun licitnya sedikit mencemari kawasan sekitarnya yang toh sudah tercemari baunya, paling hanya akan menjadi berita utama di koran, radio dan tv. Kita akan berduka dan berkasak-kusuk sejenak sambil sibuk menyalahkan si ini dan si itu. Setelahnya hidup kembali normal masa bodohlah itu urusan pemerintah saja. Produsen dan konsumen tidak perlu khawatir dengan limbah produk yang mereka produksi dan konsumsi, asalkan sudah ditimbun di jugangan, dibakar, terbawa arus sungai hingga ke muara atau ditaruh di tempat sampah biar jadi tanggung jawab Pak Sampah yang tiap hari keliling dengan upah seadanya. 

Di satu pagi seorang gadis berjalan menghampiri penjual gudeg 500 meter dari rumahnya. Berjejal mengantri 2 jam untuk 4 porsi bubur dan gudeg yang manisnya ngga kalah dengan senyuman ibu yang jual. Ketika antriannya diserobot oleh mereka yang mau makan di tempat, ia berusaha nrimo karena toh ia orang Jogja yang seharusnya berwatak begitu. 

Tapi sekarang bermunculan orang-orang yang sudah tidak lagi nrimo, masang-masang spanduk dan baliho di pinggir jalan, melawan petugas yang datang, demi mempertahankan sepetak tanah yang dihuni selama puluhan tahun. Wahai, berani betul itu berucap buruk pada kanjeng Sultan. Ternyata, keistimewaan daerah ini bisa menimbulkan konflik juga. Tunggu, masihkan sekarang berlaku prinsip tahta untuk rakyat? Ataukah tahta hanya menjadi alat untuk membela kepentingan yang berkuasa? 


Kereta api belum lagi beranjak dan sang pemilik motor masih berada di tanah perantauannya. Sibuk merenungkan bagaimana nasib kota ini kini dan nanti. Sembari diam-diam berharap bisa merasakan Jogja seperti satu dekade ke belakang. Yang kata sahabatnya jauh lebih aman, nyaman dan tenteram dibanding sekarang. Suasana yang mungkin hanya bisa dirasakan ketika kota ini ditinggalkan para perantau yang menghisap tenaga hidupnya, yang dalam waktu bersamaan menyuntikkan energi kehidupan baru yang mengalir dalam nadi kota. Ah, tapi toh dia lebih memilih mudik, menjadi bagian dari aliran orang-orang yang berpindah dan memenuhi jalanan antar kota.

June 25, 2018

Ada Jutaan Solusi untuk Jutaan Masalah di Dunia - Lagi-Lagi Sebuah Refleksi, Kali Ini Pasca UNLEASH 2018

Sudah lebih satu bulan berlalu, orang-orang yang sempat beririsan jalan dengan saya sudah kembali bertebaran di muka bumi, berlomba-lomba memberikan manfaat untuk sesama. Saya? Habis libur lebaran sih…

SDG 11 team, those who work on the Sustainable Cities and Communities, on the last day of the innovation process,
at The Arc, NTU. Credit to the UNLEASH team.

Adalah sebuah innovation lab yang sangat inovatif (menurut saya), UNLEASH 2018. Diadakan pada tanggal 31 Mei-7 Juni 2018, acara ini berhasil mengumpulkan 1000 orang talents dari seluruh dunia! Masing-masing talents merupakan bagian terpenting dan paling unik dari acara ini, di mana semua orang memiliki latar belakang yang berbeda, membawa suatu masalah dari berbagai penjuru dunia tapi sama-sama memiliki tekad untuk berbuat sesuatu sebagai jawaban atas masalah-masalah yang ada. Semuanya menjawab tantangan untuk sebuah akselerasi positif dalam mewujudkan target Sustainable Development Goals 2030.
On no soul does God place a burden greater than it can bear” 
Al-Qur’an, 2:286
Kenapa gitu ngutip ayat di atas? Jujur, karena dibalik segala keseruan yang luar biasa, ‘beban’nya juga seberat itu. 

Saat survei di HDB, serahkan kerjaan wawancara ke orang-orang lokal, kan?
Credit to Torben
Beban berat yang pertama, super tight and intensive schedule. Tujuh hari penuh. Setiap harinya aktivitas resmi dimulai pukul 08.00, tapi kami harus berangkat dari penginapan di NUS ke ruangan workshop di NTU pada pukul 07.30 waktu Singapura (yang jam 8 nya berasa jam 7). Sementara jadwal pulang kembali ke penginapan pukul 18.00, dan setelah makan malam, masing-masing kelompok sangat memungkinkan untuk melanjutkan pekerjaannya, yang biasanya memakan waktu sampai pukul 21.00 ke atas. Beruntungnya, di beberapa hari para talents diberikan waktu setengah hari atau di sore hari untuk melakukan cultural activities dan kunjungan ke luar. Kalaupun sedang kurang beruntung, fasilitator memberikan segenap kemampuan mereka untuk membuat rangkaian innovation lab ini menyenangkan dengan berbagai kegiatan selingan di dalam ruangan.

Marketplace, ketika ide yang sudah digodhog
kami pamerkan
Beban berat yang kedua, problem framing, ideation, prototyping, testing and pitching ideas, that had to be done in a very short period of time. Dalam rangka membantu kami self-facilitating dalam proses pematangan inovasinya, mereka menerapkan sebuah framework yang isinya berupa tahapan-tahapan di atas yang seharusnya diakhiri dengan implementation. Namun, karena keterbatasan waktu kegiatan, proses kami diakhiri dengan pitching ideas, dan perkara implementasi diserahkan ke masing-masing kelompok. Setiap tahapnya, kami disediakan tools yang bisa kami pergunakan untuk mencapai targetan yang ditentukan, dengan bantuan fasilitator dan juga beberapa ahli di berbagai bidang. Sementara untuk bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya, kami harus melewati ‘gate’, semacam tes dengan fasilitator untuk mengecek kelengkapan target dan progres kelompok. 

Di akhir acara, kami dituntut untuk bisa mempresentasikan inovasi yang kami hasilkan. Rancangan program/prototype produk ini dipresentasikan dalam sebuah pitch di hadapan rekan-rekan yang bekerja dalam satu gol SDGs yang sama, serta dipamerkan di sebuah marketplace yang ketika itu bekerja sama dengan Temasek Ecosperity Expo. Dalam kedua kesempatan ini, kami mendapatkan feedback yang menarik dari para ahli, serta mendapat kesempatan untuk bertukar ide dengan talents lain, bahkan bertemu dengan investor yang kira-kira akan mendanai implementasi ide kami. 

HOLLOT Team! (wich actually stands for
Hands of Light, Legs of Thunder).
Credit to Torben
Beban berat yang ketiga, you had to do all that with a team that consists of people that you barely knew (at first). Namun, justru di sinilah serunya! Untuk mahasiswa yang bahkan belum punya gelar sarjana seperti saya, awalnya sempat ketar-ketir juga, karena banyak di antara talents yang lain adalah expert! Mereka yang sudah bergelar sarjana/master/doktor, sedang melanjutkan studi master/doktor, sudah bekerja di berbagai organisasi/perusahaan berkelas internasional, dan segala pencapaian lainnya yang saya saja baru sempat membayangkannya, dan kalau tidak disikapi dengan baik bikin minder hahaha. But hey, a friend of mine once said, ketika kamu jadi orang yang paling tidak tahu dalam suatu kelompok, justru di saat itulah kamu bisa jadi orang yang paling banyak belajar. Which is undeniably true, in my case. Rekan satu kelompok saya adalah seorang arsitek, seorang sosiologis, keduanya berasal dari Denmark, dan seorang mahasiswa akuntansi dari Singapura. Dari mereka, baik dari pribadi maupun dinamika kelompok yang terbentuk, saya banyak belajar. Utamanya tentang bagaimana berkomunikasi, berkolaborasi, mengapresiasi satu sama lain serta menghargai proses lebih daripada hasil.

Yang keempatnya, what is this girl from a developing country trying to do, solving a problem in a developed country? Ngga ada masalah sama sekali! Kelompok saya pada akhirnya bekerja menyelesaikan permasalahan peningkatan rasa kesendirian di antara para lansia di Singapura, utamanya mereka yang tinggal di apartemen HDB. Terlepas dari justifikasi negara maju atau berkembang, pada dasarnya kita tidak bisa memaksakan sebuah solusi yang berhasil di suatu tempat pada konteks tempat yang mau kita intervensi bukan? Maka dari itu, ini justru jadi kesempatan yang luar biasa untuk mendapatkan insights tentang beragam persoalan yang terjadi di dunia. Teman-teman yang sama-sama bekerja untuk mewujudkan gol Sustainable Cities and Communities saja, ada yang memilih mengangkat isu kurangnya kesempatan pengungsi untuk berwirausaha, ada yang mengangkat isu buruh migran, dan lain sebagainya. Pendekatan yang dilakukan untuk masing-masing masalah juga bisa sangat beragam, ada yang memutuskan membuat platform yang mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan, ada yang mengembangkan produk tertentu, hingga yang seperti dilakukan kelompok saya, membuat satu desain sosial dan fisik. Semuanya diperbolehkan, tidak ada yang memberikan batasan selama solusi itu adalah suatu hal yang feasible untuk dilakukan. Maka dari itu di awal pembentukan kelompok fasilitator berusaha memastikan bahwa orang-orang yang berada di satu kelompok berasal dari latar belakang yang heterogen.  

Terakhir, we carry the world upon our shoulders. Tega sekali mereka yang mengubah lirik lagu 'Hey Jude' menjadi UNLEASH anthem ini. Dengan banyaknya masalah di dunia ini, how could we solve all that? Bahkan mencapai target SDGs saja susah lho! Tapi mereka tetap mengumpulkan kami untuk saling bertukar gagasan dan memperluas jejaring (baik dengan sesama maupun dengan para ahli dan investor). Lalu, mereka mendatangkan sosok-sosok yang sudah berkontribusi dalam pencapaian SDGs dan menyelesaikan berbagai macam masalah di skala lokal maupun internasional. Kemudian mengajak kami menjalani serangkaian proses yang luar biasa yang membuat kami menjadi bagian dari solusi, mulai dari melakukan hal-hal yang paling sederhana, hingga akhirnya energi positif yang kami dapat di UNLEASH ini akan tersebar luas ke berbagai belahan dunia tempat kami berasal. Because the SDGs is ours to take action on, and there should be no one left behind. For the millions of problems the world face today, we could find millions of solutions that will make it a better place for us to live. 

Pada akhirnya, semua ‘burdens’ ini adalah blessing in disguse. Waktunya meninggalkan pesimisme yang terbangun selama ini dan menyambut energi positif untuk melakukan sesuatu. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, bukan? At least, ini sudah dibuktikan oleh rekan-rekan talents UNLEASH yang menghasilkan paling tidak ratusan ide selama berproses bersama di sini. Ide-ide yang disampaikan bisa jadi sangat sederhana untuk satu masalah yang pun sederhana, tapi yang penting, berdampak. 

With some of the UNLEASH Indonesian talents. Tunggu kabar-kabar baik dari kami-kami ini ya! Haha
Whoops, mohon maaf saya ngga bisa menyampaikan cerita ini dengan lebih baik lagi. Sungguh sebetulnya ada banyak sekali hal yang saya dapatkan dari pengalaman UNLEASH ini secara pribadi, pun rangkaian kegiatannya tidak sepenuhnya saya jabarkan di sini. Buat yang masih kepo, silakan kontak saya hehehe. Fyi, tahun depan (kemungkinan besar) akan ada UNLEASH 2019, buat yang tertarik untuk daftar, do prepare yourself. If there’s anything that I might be able to help, just tell me. For whatever reason you might want to join this program, my best advice is, just give it a shot.