This is more like a compilation of questions and wonders arose after a short contemplation over my journey in India, with some phenomenon I found unusual interspersed in between. Have fun reading!
|
Sehari sebelum malam perayaan Dhivali (festival of lights) |
Di negara yang dihuni oleh lebih dari 1,3 milyar penduduk itu, ada satu hal yang benar-benar terkenang, bunyi klakson kendaraan!
Pengalaman saya di India banyak dihabiskan di atas kendaraan. Bagaimana tidak, saya mengunjungi tiga kota dalam rentang waktu sepuluh hari. Di India yang didominasi daratan, bus menjadi onta saya, dan jalan tol menjadi jalur pengembaraannya.
Berkesempatan mendarat di New Delhi dan menyesap udara di tengah malam, saya mau tidak mau harus merasa heran dengan kenampakan kabut yang menggantung di langit malam. “Peh, kamu ngerasa udaranya aneh ngga sih?” sontak pertanyaan kawan saya menjadi misteri hingga beberapa hari ke depannya. Ke manapun kami pergi, baik itu di kota maupun di perdesaan, kabut misterius itu tetap menggantung.
“Mas, itu apaan? Asap?”
“Iyalah, itu asap dari polusi gitu.”
“Oh, separah itu yah asap kendaraan bermotor? Kok sampe jam segini?”
“Bukan, itu gara-gara cara mereka beribadah kan.”
“Dupa-dupaan gitu? Oh, pantesan baunya agak aneh”
“Lebih ke asap bakar mayat sih… Budaya mereka di sini kan gitu”
“…..”
Satu di antara alasan yang mengemuka saat itu adalah tentang asap upacara pembakaran mayat, yang membuat saya cukup tercengang ketika itu. Sebanyak itukah sehingga bisa menutupi bintang-bintang di angkasa? Ah, rupanya tidak. Faktanya menyebutkan, New Delhi memang merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat polusi udara paling tinggi di dunia. Kalau merujuk pada informasi dari urbanemissions.info, sumber polusi di New Delhi 30% nya berasal dari kendaraan bermotor, masing-masing 20% dari biomass burning dan sektor industri, sisanya berasal dari debu, generator diesel, pembakaran sampah maupun pembangkit listrik. Terbukti, bukan asap dari upacara pembakaran mayat yang mengkontaminasi udara di India selama 24/7.
|
Lalu lintas di Kota New Delhi |
Malam berganti pagi, dan saya beranjak pergi dari Indira Gandhi International Airport menuju Kota Chandigarh, yang berada di wilayah Punjab. Wilayah ini berada di bagian utara daratan India, dan penduduknya memiliki kekhasan tersendiri. Mayoritasnya merupakan penutur bahasa Punjabi dan penganut agama Sikh. Secara kasat mata hal ini bisa dibedakan dari penampilan kaum lelakinya yang menggunakan semacam surban di kepala, sebagai salah satu bentuk kepercayaan mereka. Sementara kaum perempuannya tidak berpenampilan begitu berbeda, hanya saja mereka lebih jarang menggunakan sari dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan menuju Kota Chandigarh ini lah yang memberikan kesan pertama akan India. Sepanjang perjalanan, bunyi klakson kendaraan tidak pernah berhenti memekik, tidak kurang selama 6–7 jam perjalanan di jalan tol yang menghubungkan New Delhi dengan kota tersebut. Mengapa bisa? Gampangnya, di malam hari, kendaraan-kendaraan beratlah yang banyak melintas, dengan angkutan penuh sehingga mereka melaju dengan kecepatan cukup lambat. Sementara itu, mobil van yang saya tumpangi melaju dengan kecepatan rata-rata 60–70 km/jam, yang mana berarti, sangat mudah bagi sang supir untuk menyalip kendaraan lainnya. Nah, kendaraan yang menyalip terbiasa untuk membunyikan klakson mereka, bahkan dari sebelum hingga mereka berhasil menyalip kendaraan lain! Jadi bayangkanlah, di jalan yang ramai, ketika mobil van saya menyalip atau disalip, akan selalu ada bunyi klakson yang nyaring terdengar.
|
Salah satu sudut Chandigarh University, Chandigarh |
Pusing? Iya. Untungnya, Kota Chandigarh menjadi obat dari
kepusingan saya atas kebisingan di perjalanan. Sebuah berkah tersendiri ketika
menyadari bahwa Kota Chandigarh ini adalah kota paling terencana di India,
karena dibangun atas dasar masterplan yang jelas dan memiliki pemerintahan kota
yang dinilai cukup baik oleh beberapa kawan di sana.
Adalah Le Corbusier, seorang arsitek kawakan asal Perancis
yang memiliki andil besar dalam perencanaan Kota Chandigarh. Ia dan timnya
mengaplikasikan sebuah kombinasi antara konsep Radiant City yang diusungnya
dengan konsep Garden City yang diperkenalkan oleh Ebenezer
Howard. Dari kursi saya di balik jendela van yang saya tumpangi,
ciri-ciri Garden City terlihat lebih dominan. Sepanjang sisi
jalan dan median jalan ditumbuhi oleh tanaman yang terawat, jaringan jalannya
berbentuk grid dengan roundabouts yang membagi kota ini dalam
blok-blok tertentu. Selain itu, kota ini memiliki beragam taman kota sebagai
ruang publik yang aktif sekaligus membatasi sisi-sisi terluar wilayahnya.
Barulah setelah melihat lebih detail ke balik deretan
tanaman ke dalam blok-blok bangunan, nampaklah bagaimana penerapan konsep
Radiant City yang menekankan pada efesiensi fungsi kota dengan integrasi
bangunan-bangunan yang ada. Secara umum, keberadaan blok-blok bangunan
mempermudah pengaplikasian pola dan struktur ruang kota serta menciptakan
keteraturan yang lazim ditemukan dalam kota yang berasal dari sebuah garapan
masterplan.
Sampai saat ini, rencana Kota Chandigarh terus dikembangkan
untuk memenuhi tantangan zaman yang berubah. Terdapat beberapa isu yang perlu
dijawab oleh kota ini, seperti bagaimana mengatasi arus urbanisasi dan
mengakomodasi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Menarik maka, untuk
mengikuti bagaimana langkah yang dilakukan kota ini untuk mengatasi potensi
permasalahan ketersediaan perumahan, transportasi publik, serta fasilitas umum
dan fasilitas sosial lainnya.
Begitulah Chandigarh, setelah menghabiskan waktu dua hari di
sana, akhirnya saya harus kembali ke New Delhi untuk memenuhi tujuan utama saya
berkunjung ke India. Jalan yang berdebu menjadi saksi bagaimana India, seperti
halnya Indonesia, masih berjuang membangun negaranya, dan bagaimana pembangunan
itu terkadang menyebabkan permasalahan baru. Banyak hal yang saya anggap asing
di sepanjang perjalanan. Salah satunya yang saya masih tidak habis pikir,
mengapa di tengah-tengah ketiadaan kemudian muncul kompleks bangunan yang
ternyata berfungsi sebagai universitas ataupun pabrik industri. Memunculkan
tanya, bagaimana mereka membangun infrastruktur dengan efisien dan bagaimana
mereka merencanakan perkembangan wilayahnya.
|
President House |
Yah, akhirnya saya harus beralih dari sebuah kota yang
terencana, menyeberang kawasan perdesaan, menuju sebuah kota metropolitan.
Kepadatan lalu lintas New Delhi ramah menyambut siapapun yang berkunjung. Kota
ini memamerkan kemegahan dan kemewahan, menunjukkan kehebatan peradaban masa
lalu, serta menjanjikan modernisasi dan perbaikan kualitas hidup. Namun, di
sisi lain juga memamerkan kesederhanaan hingga kesemrawutan, menyisakan
masalah-masalah kota, dan keras menggerus orang-orang yang tidak bisa beradaptasi
dengan ritme kehidupan kotanya.
Saya mendiami hotel di kawasan Gurgaon, yang mana berada di
sebelah selatan kota ini. Dari New Delhi, kami dapat dengan mudah mencapainya
melalui highway. Kawasan ini cenderung lebih lengang dibandingkan
di tengah kota. Di sebelah baratnya, terdapat kawasan lain yang disebut Cyber
City. Isinya? Perusahaan-perusahaan global seperti IBM, Google, dsbg.
Apabila lingkungan hotel saya terlihat seperti kawasan Glodok, tetapi bmaka
kawasan Cyber City ini memberikan kesan modern dan nyaman untuk ditinggali,
dengan gedung-gedung bertingkat dan jalanan yang indah.
Kalau kita ibaratkan pengalaman berada di New Delhi dengan
rasa permen, maka rasanya berada di New Delhi, seperti makan permen nano-nano.
Hampir setiap hari saya bepergian dengan bus dari hotel menuju venue acara
yang berada di tengah kota New Delhi. Ini berarti, hampir setiap hari saya
membelah kota ini. Saya tidak lagi heran dengan lalu-lalang orang yang berjalan
kaki dan menyeberang jalan hampir di setiap ruas jalan. Pun sudah terbiasa
dengan percampuran pemandangan sapi yang berseliweran, manusia yang rebahan di
trotoar serta anjing-anjing berkeliaran yang pada mulanya saya anggap janggal.
Hingga tidak lagi merasa kasihan melihat mobil-mobil baru yang tidak lagi
nampak mulus dan berdesakan di jalanan.
|
Geliat ekonomi di salah satu sudut kota |
Ah, belum lagi kita membahas dimensi tata ruangnya. Indah
sekali melihat lingkungan sekitar Kedutaan Besar Indonesia, yang dekat sekali
dengan kediaman Jawahalrar Nehru (sekarang menjadi Nehru Planetarium dan Nehru
Museum). Bangunan-bangunannya megah berdiri bercorakkan arsitektur kolonial
Inggris yang berpadu dengan arsitektur khas timur yang dipengaruhi budaya Hindu
dan Islam. Museum, monumen, kuil, terawat dan dikelola menjadi objek wisata
yang menarik. Taman-tamannya membentang tidak kalah bagus dengan taman di Kota
Chandigarh. Ditambah lagi adanya hutan kota yang ehem, kita jarang punya.
Namun di sisi ekstrim yang lain, ada slum area, ada trotoar
yang tidak terawat, ada pasar yang kumuh, ada kemacetan yang menghantui, ada
bangunan yang hancur tidak terurus. Begitulah sehingga seakan-akan kita melihat
ada kemiskinan yang terpampang di jendela kemewahan.
|
Di depan sebuah pasar sayur dan buah di Okhla, setelah gagal bertransaksi karena keterbatasan bahasa
|
Terakhir, marilah kita meninggalkan New Delhi dan rehat
sejenak mengunjungi Agra. Tempat satu dari tujuh keajaiban dunia yang dahulu
kita hafalkan ketika kecil di lagunya Sherina. Taj Mahal!
Saya tidak bisa berkata banyak tentang Agra, terlalu lelah
dan lemah saya sehingga kebanyakan tidur di bus dalam perjalanan. Satu hal yang
bisa saya pastikan, kota ini akan memanjakan fantasi Asia daratan bagi Anda
yang tertarik. Berkunjunglah, sesap dalam-dalam udaranya, rasakan berada di
India tempo dulu, sambangi peninggalan-peninggalan sejarahnya, bercengkerama
dengan segenap penduduknya.
|
Kubah Taj Mahal, dibayarkan dengan tiket masuk seharga 1000 rupees |
Ah, mungkin saya mulai bisa merasa rindu untuk kembali
berkunjung. Semoga lain kali, saya tidak hanya menjadi penonton kehidupan di
balik jendela dan komentator di laman pribadi.
Terimakasih India, atas pelajarannya tentang penghargaan akan kehidupan.
p.s. kalau ada yang mau mengajukan pertanyaan tentang bagaimana saya mengurus perjalanan ke India, silahkan kontak saya secara pribadi.