February 16, 2018

Seri Pemuda: Refleksi atas Cerita-Cerita Wawancara - Urgensi Pemuda yang Utama

It’s never too late nor too early. It’s never too big and grande nor too small and simple. Just be sincere. Having a dream is not a mistake, however silly it may seem at first. 
— Fadhila Nur Latifah Sani

Selamat malam,

Tulisan ini dimulai ketika saat itu jadwal harian saya kembali jatuh pada rutinitas yang selalu dihadapi saat rekrutmen organisasi, yakni… wawancara. 

Saya masih ingat, dulu ketika awalnya memutuskan untuk menyemplungkan kaki di organisasi kampus, saya tidak menyukai seleksi wawancara. Kenapa? Karena saya tidak merasa nyaman membicarakan hal-hal personal dengan orang yang baru saya temui pertama kali, dalam forum yang intimate, dengan waktu yang panjang, di mana saya harus membuka diri dan mengungkapkan hal-hal yang menurut saya ketika itu, berada dalam lekuk-lekuk terdalam pikiran saya. Apresiasi terbaik saya berikan kepada orang yang berhasil menyelami lekukan pikiran saya, seberapapun absurdnya itu.
Siapa sangka, 2 tahun setelahnya, saya berada dalam posisi di mana saya harus menjadi interviewer, bukan lagi sebagai interviewee

Kemudian sekarang, sekian lama setelah tulisan ini pertama kali saya mulai, saya ingin merefleksikan kembali beberapa fenomena yang saya temukan dalam proses mewawancara itu. Walaupun begitu, pertama izinkan saya untuk mengakui bahwa, saya bukanlah seorang interviewer yang sepenuhnya paham ilmunya, pun bukan pula interviewee yang selalu berhasil lolos tahapan wawancara(bahkan lebih sering gagalnya). Tapi dari segala proses dan kegagalan itulah maka saya melanjutkan tulisan ini malam ini.

Tujuan dari wawancara organisasi yang saya lakukan tidak lain adalah untuk mengetahui siapakah si interviewee dilihat dari latar belakang, sikap dan komitmennya. Semuanya dirumuskan terlebih dahulu di awal, kemudian pewawancara hanya perlu untuk mengikuti sop yang sudah ditentukan sebelumnya. Terkadang saya juga suka menambahkan pertanyaan-pertanyaan iseng untuk mencari tahu lebih tentang kehidupan mereka, terutama tentang apa yang menjadi tujuan hidup seseorang, atau mudahnya mungkin kita sebut sebagai cita-cita. 

Hasilnya? Tidak sedikit saya temukan kawan-kawan saya ini yang nasibnya sama seperti saya ketika saya menghadapi situasi wawancara pada masanya. Bingung, atau mungkin lebih tepatnya tidak punya jawaban yang pasti. Sementara saya sok-sokan mau membuat rencana ruang hidup untuk kepentingan masyarakat, sendirinya tidak punya rencana hidup yang konkret. Ketika ditanya apa yang mau dilakukan, jawabannya mengambang, mengawang dan disampaikan dengan ketidakyakinan pada pernyataan yang dikeluarkan. 

Mulanya saya kira ini adalah suatu hal yang saya temukan hanya di lingkungan kampus saya saja. Tetapi ternyata, ketika berkesempatan berdiskusi dengan Ustadz @emfatan, kegamangan ini beliau temukan pada banyak sosok pemuda di berbagai tempat dan kesempatan. Maka izinkan saya sedikit membahas hasil diskusi dengan beliau dalam forum On Building Prime Youth #1: Urgensi Pemuda Utama yang saya ikuti dua pekan lalu.

Apa hubungannya? Kenapa kemudian mempermasalahkan hidup orang lain, toh mereka punya cara menjalani hidupnya masing-masing bukan? 

Tahan di situ. Bagi saya pribadi, semenjak membaca buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku yang ditulis oleh Jamil Azzaini, saya menginsafi urgensi untuk memiliki sebuah rencana hidup yang jelas dan terperinci. Beberapa argumen penguat pernyataan ini bisa coba dibaca di sini atau di sini. Tapi mudahnya begini. Bayangkan kota tempat tinggal kita, dengan segala kondisinya yang sekarang, nyamannya atau kacaunya. Kemudian bayangkan 20 tahun dari sekarang, seperti apa kota kita akan berubah? Lebih baik atau lebih buruk? Ketika kita tidak memiliki sebuah rencana/guideline/goal yang jelas untuk kota kita, maka ia akan berkembang terhimpit berbagai kepentingan. Terus mengikuti arus bisa membawa kota menuju berbagai pilihan kondisi, baik itu menjadi kota metropolis yang livable, kota pariwisata yang kekurangan infrastruktur, atau malah, kota yang mati. 

Hal ini sama terjadi dengan hidup kita. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau merencanakan arah hidup dengan target kebaikan, ataukah membiarkannya terombang-ambing mengikuti arus kehidupan?

Ada satu cerita tertutur saat diskusi sore itu, tentang 4 orang anak muda yang nongkrongnya di samping Ka’bah, bagian dari generasi terbaik pada masanya (fyi, paling tidak ada 220 sahabat nabi yang masuk dalam kategori muda). Sebutlah ada Abdullah bin Zubair, Mus’ab bin Zubair, Urwah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwah. Mereka ini bukannya lagi interview untuk rekruitmen organisasi manapun, tapi saling sharing tentang cita-cita yang ingin mereka capai selama hidup. 

Dua bersaudara Abdullah bin Zubair dan Mus’ab bin Zubair sama-sama ingin menaklukkan Hijaz, sebuah wilayah di bagian barat Arab Saudi yang waktu itu belum dikuasai Islam. Abdul Malik bin Marwah sementara itu lebih ingin untuk menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Terakhir, Urwah bin Zubair mengutarakan keinginannya untuk memiliki ilmu dan kepahaman terhadap dien/agamanya, sehingga dapat menyebarkan pesan-pesan kebaikan Islam. 

Dikisahkan kemudian, cita-cita yang awalnya bermula sebagai obrolan ringan di antara mereka berempat, akhirnya berhasil tercapai. Kok bisa? Yah bisa, namanya juga anak muda. Harusnya yang muda-muda begini nih, alih-alih mengamini perkataan orang yang menganggap biasa kenakalan remaja di era informatika sebagai hal yang lumrah dengan pembenaran, “Yah, anak muda jaman sekarang.” 

Pada dasarnya, masa muda itu adalah masa di mana kita bisa belajar bertanggungjawab, berada dalam fase kuat yakni usia paling utama di setiap hal (jasmani & rohani), dan alhamdulillah-nya usia ini adalah usia paling panjang dalam hidup. Di masa-masa inilah manusia lebih mudah menerima kebenaran, dan dengan segala kelebihannya tsb bisa memberikan kontribusi maksimal serta memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Makanya dulu golongan muda yang nyulik Soekarno-Hatta dan mendorong beliau berdua untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Pada titik ini kemudian saya bertanya pada diri sendiri, kalau saya, cita-citanya apa? Sudah jadi bagian dari golongan pemuda yang utama belum?

Hingga akhirnya, rasanya kita semua punya PR besar. Peradaban-peradaban besar yang ada rupanya terbentuk karena kekuatan generasi mudanya (baik secara kualitas maupun kuantitas) yang menggebu-nggebu melakukan perubahan. Indonesia kita, punya kesempatan emas memanfaatkan puncak bonus demografi di tahun 2030. Tahun itu, kita akan memiliki lebih banyak penduduk usia produktif dibandingkan penduduk usia tidak produktif. 

Pertanyaannya lagi, di masa depan itu, Indonesia akan tinggal landas menjadi negara maju, atau tercebur kubangan lumpur ketertinggalan yang semakin parah? 

Sepertinya semua tergantung kita, para pemuda, mau jadi pemuda utama atau mau jadi pemuda penganut kenakalan remaja di era informatika.

Referensi:
  1. Kultwit @JANtraining tentang On Building Prime Youth #1: Urgensi Pemuda Utama https://chirpstory.com/li/381229
  1. https://www.abanaonline.com/2016/11/kisah-urwah-bin-zubair-yang-tabah-dalam-menerima-musibah.html

Disclaimer:
Ingatan saya pendek, catatan saya terbatas, bacaan dan kajian saya masih sangat dangkal, belum lagi nulisnya suka sembrono. Jadi, kalau ada fakta-fakta yang terbelokkan dengan tidak sengaja, atau pesan-pesan yang kurang pas, tolong saya dijawil, maturnuwun.