December 13, 2012

Commuter

12 taun sekolah, dari TK sampai sekarang SMA. Jarak sekolah sama rumah alhamdulillah nggak pernah lebih jauh dari 5km (kalau ditarik garis lurus, kalau dijalanin beneran ya agak muter sedikit) dan rutenya ya situ-situ aja ke arah kota. Alhasil, udah khatam sama jalanannya dan udah nyobain berbagai macem moda transportasi buat berangkat atau pulang sekolah.
1. Motor
Sejak masih kecil ingusan udah sering diboncengin naik motor ke sekolah, dan emang ini favoritku. Naik motor berarti bisa nyelip-nyelip kendaraan lain, berarti bisa cepet sampai sekolah, nggak telat walaupun dari rumah berangkatnya mepet-mepet. Sekarang sejak naik motor sendiri, lebih bebas lagi rasanya. Kalau lagi adem atinya biasanya naik motornya bisa anggun dan tertib, dinikmatin ngendarainnya. Kalau lagi keburu-buru beda lagi, udah macem sopir angkot ngejar setoran aja ngebutnya, bedanya, yang dikejar bukan duit setoran tapi waktu, sampe-sampe lampu kuning berganti merah diterabas juga. Tobat deh tobat.
2. Mobil
Kalau naik mobil, berarti harus rela macet-macet kalau berangkatnya nggak pagi-pagi. Repot juga sih, tapi di dalem mobil bisa sambil sarapan, make sepatu, belajar atau nerusin tidur dan orang-orang di luar juga nggak bakal tau. Paling enak sih kalau pas hujan-hujan, nggak bakal terjadi sepatu atau seragam basah.
3. Trans Jogja
Naik Trans Jogja itu nabung pahala, serius deh, karena kita diajarin sabar dan bertoleransi. Tapi buat orang emosian malah kebalikannya kali ya jadinya? Gini, berhubung fasilitas shelter bus dan armada bus Trans Jogja kadang tidak cukup menampung jumlah penumpang, nggak heran dong liat simbah-simbah sampai balita dan ibu hamil dorong-dorongan pengen naik/turun bus? Padahal, kalau sabar lak yo penak to. Suka prihatin sendiri jadinya liat petugas Trans Jogjanya nahan emosi ngatur penumpang yang macam-macam itu. Belum lagi di dalem bus nya, duh nggak bisa nafas deh, berdiri aja kegencet-gencet nggak bisa pegangan. Dan lagi-lagi banyak orang yang nggak peduli, liat yang lemah berdiri kok yo dibiarin to, ksatria jaman sekarang langka banget. Nah, makanya buat yang masih memiliki 'rasa' naik Trans Jogja bisa jadi ladang pahala kan?
4. Angkutan Kota
Pas berangkat sekolah sih nggak pernah naik bis kota, biasanya cuman kalau kepepetnya nggak ada yang jemput dan males ngantri Trans Jogja. Sampai hafal lho, kalau misalnya ada 2 bis yang sama jalurnya dan papasan, pasti berakhir kejar-kejaran deh, ya gini ngejar setoran. Korbannya siapa lagi kalau bukan penumpang? Dibikin jantungan karena sering ngegas dan ngerem nggak kira-kira, nyerempet-nyerempet kendaraan lain pula. Belum pas diturunin sembarangan dan disalamin pake kentutnya, istighfar dulu lah.
5. Sepeda
Naik sepeda itu refreshing, apalagi pagi-pagi, jalan sepi, nggak perlu nggenjot karena jalannya turun. Kesiksanya baru pas pulang, jalanan panas, rame, suka diklaksonin, polusi, jalanan nanjak, keringetan. Alhamdulillah, ada kios cendol di Jalan Kaliurang yang jadi pitstop surga. Kalau pulang pergi naik sepeda, rasanya bangga mbantu ngurangi polusi udara, badan sehat pula.
6. Jalan kaki
Dulu sekali jaman SMP waktu masih berangkat bareng kakak, dia dengan sangat tega ninggalin aku setelah kita berhenti mompain ban motor, payah banget dia lupa kalo mboncengin adeknya. 'Udah jatuh ketimpa tangga' kebetulan pas itu nggak bawa HP dan nggak sempet nyegat bus kota yang lewat. Yaudah emang jatahnya kali jalan setengah jarak sekolah-rumah. Sampai sekolah, walaupun jauh lebih telat dari biasanya, rasanya lega tapi frustasi juga, sakit ati rasanya dilupain. Dan sepulangnya ke rumah, kakak mengaku dia baru sadar pas harusnya nurunin aku di depan sekolah, ternyata aku nya udah nggak ada. Fine banget mas, jalan kaki lumayan capek lho.

That's my story. Jadi mikir-mikir habis SMA mau lanjut ke mana ya? Yang sejalur kampusnya setiap hari dilewatin, atau mau pindah jauh-jauh? Hmmmm

December 7, 2012

Ego: Berkilah dari Nilai-Nilai Buruk Ujian


"I want to do good in the exam"
Tapi setelah teringat nilai KKM, langsung malas belajar.
"I don't want to do this anymore"

Sendirinya menganggap keberhasilan nggak bisa diukur hanya dari nilai akhir yang terpampang di jawaban ujian, di lembar pengumuman remidial, di raport semesteran, dan di mana aja itu dituliskan.
Digit-digit itu bukan ukuran, sakjane, apa sih yang bisa mengukur ilmu secara keseluruhan?
Kalau masalah penghargaan, proses mendapatkan ilmu lah yang lebih pantas untuk dihargai, bukannya  angka pengakuan. 
Unfortunately, that's how the system works. 

What do you think?

November 15, 2012

Cloudy Parangndog

30 km motoran pagi-pagi setelah tidur nggak lebih dari 1 jam? Dari tengah Kota Jogja sampe ujung timur Parangtritis? Worth it bro!




November 12, 2012

ESCAPADE

Jawa Timur yang nggak bakal terlupa
Kalau sebelumnya aku cuman sambil lalu cerita, now get ready for the detailed one!

Batch 1, Malang, liburan keluarga
Jarang-jarang punya waktu luang sekeluarga, akhirnya disempet-sempetin deh habis UKK kemarin liburan ke Malang. Naik mobil jedag-jedug di dalem, kamera siap, peta dan GPS di tangan, makanan tinggal comot. Life is wonderful. Dalam 3 hari 2 malam (termasuk perjalanan) meng-eksplor Malang cukup buat nikmatin kota yang ternyata nggak sekecil dan sesepi yang aku bayangin. Tujuan wisata? Standar aja sih, Selecta, Jatim Park, BNS, kebun apel, silaturahmi, etc. Sama seperti wisatawan-wisatawan lainnya. Walau sering masuk angin yang bikin nggak begitu nafsu makan, tapi rasa makanan Jawa Timur cukup menggugah lho. Itu pertama kalinya aku tau ada makanan yang namanya krengsengan, ngerasain bakso malang asli di asalnya, rawon harga travel rasa hotel, pecel Jawa Timur komplit super pedas, mabok jus buah segar dan keripik tempe, ngerasain sate ayam Ponorogo pojok alun-alun Ponorogo, dll. Well, Malang punya banyak potensi wisata yang sangat-sangat perlu dikembangkan, next time I visit Malang, semoga pariwisatanya jadi lebih maju dan penataan kotanya jadi lebih baik.

Batch 2, Taman Nasional Alas Purwo, Ekspedisi PHC
Before everything else, I must say that this is the best thing that happened this year. Nggak berlebihan lhooo, karena buat mengadakan kegiatan ekspedisi ini bukannya gampang dan tanpa perjuangan. Hasilnya? sungguh-sungguh nggak mengecewakan. Setelah brainstorming cukup lama buat menentukan tempat, terpilihlah TN Alas Purwo sebagai tujuan ekspedisi 2012. Pernah coba cari informasi tentang Alas Purwo di Google? Yakin deh mayoritas isinya mistis semua. It bothered us so much in the beginning, dan bahkan sampe bikin kami pengen mundur pas nyaris nyampe di lokasi. Karena mendengarkan cerita dari orang-orang secara langsung jauh lebih terasa mencekam daripada cuman mbaca di layar laptop. Tapi nih, selain dari mistisnya yang diekspos banget, keindahan alamnya nggak main-main ternyata.
Rombongan ekspedisi PHC jumlahnya ada 11 orang, 2 orang berangkat duluan tanggal 1 Juli, dan sisanya nyusul tanggal 3 Juli nya. KA Ekonomi Sri Tanjung lah yang nganterin kami dari Stasiun Lempuyangan, Jogja sampe Stasiun Banyuwangi Baru, Banyuwangi. Karena larut malam nggak ada kendaraan yang bisa ngangkut kami ke Alas Purwo (dan nggak bayangin nyampe sana jam 12 malem bentukannya kayak gimana), semalaman kami istirahat di depan stasiun. Gossipnya sih di sini nggak aman karena ada pencuri yang ngincer barang berharga punya penumpang yang ngabisin malam mereka di sekitaran stasiun, fortunately, pas kami nginep ada petugas polisi jaga jadi nggak kecolongan deh (dan perjuanganku begadang was such a waste).
Paginya, kami bisa ngelanjutin perjalanan ke Rowobendo, pintu gerbang Alas Purwo di Kalipait, naik kol charter-an dari stasiun. Perjalanannya cukup makan waktu, karena begitu ngelewatin kantor balai Taman Nasional, jalannya hancur gila. Jangan tanya persisnya gimana jalan menuju ke Rowobendo, 10 km sebelumnya (dari balai), rasanya kayak dikocok-kocok dalem kol kaleng. Lega banget ketika sampe di gerbang taman nasional, penjaga hutan yang jaga nyambut kami dan mempersilahkan kami ke pesanggrahan trianggulasi tempat kami nginep, setelah melakukan registrasi.
Kondisi jalan di dalam Alas Purwo emang mayoritas masih berupa tanah dan batuan kecuali jalan menuju G-land. Tapi di sini, kalo cukup beruntung bisa ngeliat satwa yang lagi  melintas. Kami beruntung banget bisa liat segerombolan ajag, banyak sekali monyet, beberapa tupai, dan lebih dari sekali liat gerombolan rusa lari nyeberang. Even if you're not that lucky, you can still hear their sounds if you walk quietly enough.
Pesanggrahan Trianggulasi yang letaknya beberapa ratus meter dari pantainya fasilitasnya lengkap banget! Kalo buat kami, tempat ini udah kayak hotel di dalem hutan. Tidur enak, makanan berlebih, listrik nyala, air nggak pernah habis, kamar mandi bersih, bahkan setelahnya tempat ini kerasa lebih enak daripada penginapan yang kami sewa di deket stasiun pas mau pulang, padahal tarifnya beda jauh lho. Pengelola pesanggrahan juga sangat baik sama kami, ada Mbah Gunung dan teman-teman, terus juga patroli hutan yang kadang mampir, dan kebanyakan penjaga hutan yang pernah ketemu kami pasti tau di mana kami nginep dan kadang-kadang ketemu di sini.
Di hari kedua Ekspedisi ini, tujuan kami adalah melakukan pengamatan satwa di Sadengan Feeding Ground  yang jaraknya kira-kira 5 km, ditempuh dengan berjalan kaki. Pada jam-jam tertentu, pengunjung bisa mengamati satwa yang lagi mencari makan atau sekedar bencengkerama, antara jam 8 pagi atau bisa juga jam 3 sore. Di sini disediakan fasilitas berupa pondok pusat informasi, di mana kita bisa ngobrol sama para penjaga hutan, juga sebuah menara pengamatan setinggi 12 m jadi bisa ngeliat dengan sudut pandang lebih luas. Kontur dari Feeding Ground yang berupa padang rumput luas yang rumputnya subur karena diairi terus-menerus dan dikelilingi perbukitan lah yang membuat satwa berkumpul di sini setiap harinya.
Sekembalinya dari Sadengan, kami memutuskan untuk menikmati sunset di Pantai Trianggulasi sebelum membersihkan diri. Tempatnya sungguh-sungguh menyenangkan! Ombaknya damai, mataharinya yang udah mulai tenggelam di balik deretan pantai sebelah barat, dan pasir putihnya yang nggak kalah menawan. By the way, bahkan di daerah hutan pantai ini kami nggak sengaja nemu seekor rusa, walaupun keliatannya dia kehilangan rombongannya. Still, it was a great surprise.
Lanjut ke hari ketiga, kali ini giliran Ngagelan kami jambangi. Kalau dihitung-hitung, jarak Trianggulasi-Rowobendo 2 km, jarak Rowobendo-Ngagelan 6 km, jadi kalau ditotal bolak-balik, ya lumayanlah. Syukur sih, karena jalan sekian km itu nggak sia-sia, di Ngagelan, walaupun cuma sebentar mampirnya, kami sempat melihat-lihat dan mengamati tempat pengembangbiakan tukik ditemani salah seorang petugas jaga di sini. Jadi begini ceritanya, garis pantai sebelah selatan Alas Purwo dari Cungur sampai Pancur sepanjang 18 km itu merupakan tempat pendaratan dan peneluran 4 jenis penyu dari 7 jenis yang ada di dunia. Hampir setiap malam, ada petugas Taman Nasional yang bertugas 'lelar' atau patroli telur penyu. Nanti setiap nemu telur penyu, bakal diambil dan ditetaskan di fasilitas pengembangbiakan penyu yang ada di Ngagelan, setelahnya tukik-tukik pun juga dikembangbiakan di sini untuk nantinya dilepas ke laut.
Walaupun hari ketiga sangat melelahkan, di hari keempat kami kembali bersemangat untuk ikut berpatroli hutan di kawasan Sadengan. kalau sebelumnya kami cuma menikmati Sadengan dari luar pagar pembatas, sekarang kami diperbolehkan masuk bersama 2 orang penjaga hutan. Bapak-bapak ini sudah belasan tahun ternyata mengabdi di TN Alas Purwo, bahkan sebelum TN ini dipisahkan dengan TN Baluran. Menjadi sebuah berkah diajak patroli bareng mereka, karena wilayah ini seperti kekuasaan beliau-beliau ini. Ketika patroli, kita mendata pertemuan kita dengan flora dan fauna. Selain mendapat ilmu dan cerita, pemandangan yang kami liat juga luar biasa. Those animals were just a few feet from us, watching intensely as if considering are we their friends or their foes. We could even touch their poop on the ground! eeek
Lanjut nih hari ke-5, naik Grandong (truk angkutan barang rakitan sendiri) kami muter-muter Alas Purwo, dari ujung Bedul di mana kami nelusurin sungai dan hutan mangrove sampai Pantai Pancur yang merupakan salah satu tujuan wisata G-Land. Puas banget rasanya, tapi sayang karena setelah muter-muter, sorenya harus balik ke Banyuwangi supaya besoknya bisa ngejar Kereta Sri Tanjung yang mbawa kami pulang ke rumah di Jogja.
Ekspedisi PHC emang nggak ada duanya, nggak rugi ninggalin adek yang lagi sunatan demi bisa mengunjungi Alas Purwo. Terimakasih banyak atas pengalaman dan semangat perjuangan pelestarian lingkungan hidup yang ditularkan ke kami. Kalau aku, dilain kesempatan mungkin bakal berusaha mengunjungi tempat ini lagi, karena yang udah kami jelajahin waktu itu baru sekelumit kecil dari berhektar-hektar tanah Alas Purwo yang setiap jengkalnya menjanjikan pengalaman yang baru dan nggak perlu diraguin lagi keasyikannya. Tertarik? Just pack your bag and go! 


N.B. Dokumentasi menyusul 

October 15, 2012

14?

Apa yang bisa diharapkan dari suatu hari yang diawali dengan guyonan babi ngepet yang bikin ngakak setengah mati sampe nggak bisa tidur?

Paginya tiba-tiba kebelet pup dan di saat gitu, hanya ada pilihan gali lubang tutup lubang di balik semak dengan hanya berbekal tissue basah. Kata teman-teman, biar mantab, lega dan nikmat, pup-nya sambil ngeliat Gunung Merapi di sebelah timur camp kami.

Emang gila. Alhamdulillah nggak jadi keburu. Tapi kalau ada yang penasaran, it wasn't a bad idea at all, silahkan mencoba melihat keindahan Merapi dari point-of-view orang yang lagi pup, mungkin bakal terlihat jauh-jauh lebih memesona. Saya sih sudah puas melihat pemandangan dari point-of-view orang yang nggak lagi berekskresi di tempat terbuka.

Should I regret not trying that crazy idea on the day I'm turning 17? Hmmm



Dari atas ke bawah: dome kami di sebelah kiri dengan Merapi di sebelah kanannya, puncak Merapi di balik lembah di sebelah timur, teman-teman PHC.
Olympus Tough TG-810, Panorama Mode.

July 15, 2012

Welcoming 2012/2013


I'm thankful for being able to have a joyful holiday exploring East Java. Tasted krengsengan, mimiccing the Jawa timuran accent, spending 4 days in the wilderness in Alas Purwo and got the chance to meet some animals that usually being seen at zoo, in their real habitat, and much much more experiences. But there are 2 things I'm craving to do:
1. Travelling by myself somewhere I haven't been to
2. Sleeping all day long
To do for the next holiday I guess :3
Goals settled for the next term
bye for now

June 29, 2012

The Tale



And so the wave and the wind crushing you always

But see the brave sailors standing strong against

May 25, 2012

Mt. Lawu, 12-13 May 2012

Read the story here: Pendakian Massal PHC, Kalawarta Padmanaba
Due to the tight schedule (it's Day minus 1 Psikopad!#7 Explosion *smooch*) I can't possibly rewrite it here, really sorry guys. So, I present you some pictures which pretty much describe our hiking time! Please enjoy :B

Prambanan Express, Lempuyangan, Yogyakarta - Balapan, Solo
Cemoro Sewu, right before we started \m/
At night, 1st shelter, got some minutes for break

Freezing in the morning, 3rd shelter, built a camp here to rest


Through this kind of heavenly path we went

Sendang Drajat, thanks to Mbok Yem, my stomach was full enough
A few hundred meters from Hargo Dumilah
Hargo Dumilah! Indonesian flag on the top~ 

12.00 a.m. 3.265 m. The view, mesmerizing

Awesome team was awesome! WE MADE IT TO THE PEAK!
I got more than happiness, as cliche as it sounds, it was unforgettable!
Bad quality pictures will be updated soon. 
pictures: Fajar Ramadhani, Ario Setya P., M. Averus Zaman

Expenses:
Transport: Prambanan Express(Jogja-Solo) Rp 10.000
                charter minibus capacity:14ppl Rp280.000 Balapan-Cemoro Sewu
                                       Rp 600.000 Cemoro Sewu-Jogja
Food&drink: less than 10K per meal (@Cemoro Sewu and Sendang Drajat)
Toilet: Rp 1.000

May 19, 2012

Along the Coastline

7-8 April 2012, Sepanjang Beach - Baron Beach, Gunung Kidul, DIY


Campfire full of delicious food and loud laughter in the night, time to walk in the morning. After morning prayer, all the equipment was packed and loaded into the bus so we only had to bring as little as possible. 10 people, not knowing what the future would bring, walked towards destiny. The first 10 minutes was fine, smiling happily a s bright as the sunshine, until…… our way was blocked by a steep coral cliff. The options we got were to walk through the road or through the cliff, half climbing half walking. We determinedly chose the second option.


I was taken aback knowing that our path was a very difficult one. I mean, we could hardly get moving, the wave trying to take us down, the cliff hurting our hands and bodies, almost stuck in the middle of the coral cliff, waiting till the sea level fell down. But then, it was a miracle that a part of the reef was possible to be climbed. One by one, we climbed up, though half of us almost fall down, we finally made it. The land full of pandan was welcoming us.


When we found road once again, I realized that it was only 3 minutes walk from Sepanjang Beach and we haad risked our life instead of walking easily. Giving up on the hard way, we walked until the road came to a dead end. We continue our way through forests, hills, fields, sandy beaches and villages. In 5 hours, we were offered souvenirs from Baron Beach. As usual, that place was full of people.


Sweating and breathing hard, I got an enormous experience in our way from Sepanjang to Baron Beach. Life is only once they said. Will never forget everything that happened that day. All thanks to these guys. Can’t wait for the next adventure! J



pictures: M. Averus Zaman


Expenses:
transport: Rp 500.000 colt Jogja-Sepanjang-Jogja capacity:15ppl (@Giwangan Bus Station)
food&drink: less than 10K per meal @Baron Beach
camping: Rp 25.000 a night @Sepanjang Beach (toilet and freshwater)

May 9, 2012

A starter

Nglanggeran, 11 August 2011, the day after Ied Mubaroq


The very first experience, trekking all the way up to the peak of the ancient volcano. It was all thanks to my dear brother who asked me to go with him (the real timekiller). As a newbie I was definitely not going to miss the chance right? So, early in the morning I had prepared everything necessary and was ready to go!



An hour motorcycle ride through a long and winding road from my home in Jogja, we got to the starting point on Dusun Patuk. The weather was fine though it was a little bit cold there. There's a camping area and also a rock climbing area for those who interested in rock climbing. After paying the entrance fee for trekking (less than 10K for both of us if I'm not mistaken) we finally started our way up. The ranger told us that it took around 45 minutes to reach the peak. But as a newbie I took another 20 minutes for breaks along the way.

From the peak

It was a tiring trek, I had to admit, sometimes my brother even had to push me from behind to keep me walking -_- (my bad). We saw monkeys and a squirrel(maybe), climbed wooden ladders, got some scratches, slipped on our way down and almost fell too many times. But every efforts were paid back, totally loving the trek and the view of the highlands.
out of breath

I was told that it was even more beautiful during sunrise/sunset. Well, gotta try it myself one day.



March 13, 2012

Padmanaba Dedication for ART 2012

"What ART you doing?"

DedicART 2012 was a big success! After everything we've gone through, I'm so glad that it's ended as a success. But I'm more glad to see the enthusiastic face of the participants audiences. I'm more more glad to see the releaved expression everyone wore at the end. And I'm most glad to know that our struggle was worth it.
Have to admit that nothing was going smoothly at first; that we're lacking a lot; that we still need to learn much; that I regret a lot too; that I'm lacking the most. But like my drained energy that's finally regained, I believe that we'll be better, these failure are for us to learn from.
Now that one goal has been achieved, let's move on to the next one. May it be more succesful B)

you'd like to read: