March 22, 2017

Tentang Kebiasaan dan Aturan

Kemarin ada kuliah tamu, Perencanaan Transportasi.
Ceritanya, prodi lagi seneng-senengnya ngadain kuliah tamu di PWK. Dan sore itu giliran kami kena jatah ikutan kuliah tamu di sore hari yang kehadirannya dihitung di presensi. Dengan niat memenuhi presensi kuliah, aku masuk.
Kita ngomongin tentang manajemen transportasi umum di Kota Yogyakarta, lebih tepatnya moda Trans Jogja, dari sudut pandang Dinas Perhubungan (iya, pembicaranya adalah staff DisHub yang ngurusin Trans Jogja, lulusan FISIPOL UGM, omongannya tentang kebijakan). Singkat cerita, bahasan sampai pada alasan kenapa yang dipilih DisHub adalah model transportasi umum BRT-lite, bukannya BRT yang konon katanya lebih ideal.
Now we go to the main topic. Ngebahas jalanan di Yogyakarta yang pertumbuhannya sangat sedikit sementara kendaraan yang ngelewatinnya semakin banyak, beliau tiba-tiba nanya (iya tiba-tiba, karena omongan sebelumnya ngga aku perhatiin -_-), emang ada ya orang yang berani nyeberang Ring Road? Karena beliau ngga berani. And to that question I spontaneously answered that I did have the courage to do so, and truth be told, I frequently did, and it’s not a big deal for me. Dan di situlah aku sadar, kebiasaan, idealita dan aturan itu sangat bergantung pada pandangan individu.
Karena kita lagi bahas ‘aku’ di sini, maka biarlah ‘aku’ menjadi contoh kasusnya.
So here’s the thing. I’ve lived in Sawitsari for more than 15 years. Dan Sawitsari ada di sebelah utaranya Ring Road utara, di tengah-tengah antara Jalan Kaliurang dan Jalan Gejayan (Jalan Affandi). Salah satu akses utama untuk masuk ke perumahan ini lewatnya ya Ring Road utara. Now, sebagai orang Sleman pinggiran yang memenuhi berbagai kebutuhannya di perkotaan Yogyakarta yang notabene ada di dalam kungkungan Ring Road, ngga bisa engga, nyaris setiap hari aku harus nyeberangin Ring Road, entah itu jalan, nyepeda, naik motor, atau naik mobil, untuk mengakses kebutuhan itu.
Have you got my reasons? Nah, sekarang masuk ke kebiasaan seberang-menyeberang. Aku nyeberang kalau kenapa sih?
1. Kalau jalan pagi
2. Kalau naik Trans Jogja dan berenti di Halte Manggung karena mager jalan jauh
3. Kalau naik bus Kopata jalur 7 yang berentinya di tengah ring road
4. Kalau bawa sepeda, lagi pengen/butuh lewat daerah deresan dan mager muter kaya kalo pas bawa kendaraan bermotor
And to my judgement, it’s not entirely my fault that I have to cross the Ring Road. Dan karena sudah terbiasa, menurutku itu engga salah. Sampai kemarin.
And why’s that? Ini adalah pertanyaan, keraguan dan jawaban yang menjadi pembenaran, well not really, yang menjadi konflik batin mungkin. Just a run of thoughts.
Emang ada aturannya ya ga boleh nyeberang Ring Road? Well, as far as I know, not specifically. Tapi toh kelas jalan arteri memang harusnya ngga diseberangin sembarangan, mengingat jalan itu memang didesain untuk kecepatan tinggi, perjalanan antar kota antar provinsi.
Kenapa ngga nyeberang di tempat seharusnya? Well, kalau yang kita artikan tempat seharusnya adalah jembatan penyeberangan, zebra cross atau yang lain, yang ada hanyalah zebra cross terdekat yang letaknya, bisa 500 meter dari tempat aku pengen nyeberang. Dan sebagai orang yang menghayati ke-Indonesiaan-nya, yang punya standar berjalan kaki 200 m atau maksimal 500 m, kalau disuruh muter jalan 1 km cuma buat nyeberang, sementara tujuan awalnya adalah mempersingkat perjalanan, aku males.
Ngga takut apa? Frankly speaking, bukan takut sih, lebih ke apa ya, khawatir? Karena lewat di tengah Ring Road ketika mobil-mobil melaju >60 km/jam itu, kaya diayun-ayun. Tapi karena terbiasa, rasanya sih asal hati-hati pasti selamat.
Terus diajarin siapa sih kaya gitu? Orang tua? Yup, dulu kalau nyeberang ring road biasanya kalau pagi-pagi, jalan-jalan, dan memang sepi. Dan tahun-tahun ketika aku masih digandeng untuk menyeberang jalan adalah tahun-tahun ketika lalu lintas Yogyakarta jauh-jauh lebih lempeng daripada saat ini. Selanjut-selanjutnya, jadi terbiasa, dan karena ‘terpaksa’ oleh keadaan.
That’s that. Makin ke sini pembenarannya semakin lemah ya? Iya…
Kemarin temen aku terus ada yang nanya sama aku, kalau misal ada kendaraan yang nabrak orang nyeberang di Ring Road gitu, yang disalahin siapa? I guess, pasti orangnya yang nyeberang sih, harusnya, tapi toh kalo kaya gitu bisa jadi yang dianggap bertanggung jawab adalah yang bawa kendaraan. Gini sih, aturan sebenarnya dibuat untuk melindungi kepentingan semua orang. Dan setelah dipikir-pikir, it’s me that has done wrong.
Tapi terkadang, kita harus melihat kenyataannya. Aku baru mengambil contoh sederhana, yang notabene terjadi pada diri sendiri, dan alasan-alasan pembenaran akan tindakannya sangat lemah. Tapi bayangin orang-orang lain, petani mungkin, atau tukang rawat kebun, yang lokasi rumah dan ladang kerjanya dipisahkan jalan arteri, yang mau ngga mau memang dia harus menyeberangi itu, tanpa asuransi, dan tanpa ada yang mau mengakomodasi kepentingan menyeberang itu karena demand nya sedikit, ngga penting dan ngga mbathi.
Jadi idealita ngga melulu sejalan sama aturan. Dan kebiasaan sangat bisa menjadi judgement pembenaran atas pelanggaran sebuah aturan. Dan aturan cuma aturan kalau ngga dilakukan. Dan aturan adalah kebenaran yang dipaksakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melegalkan kebenaran itu.
Engga, ngga gini juga sih. Tapi gitu.
Lastly, ini cuma penyadaran, cuma otokritik, cuma sharing kegelisahan. Ngga sepenuhnya benar karena ngga menyampaikan kebenaran. Feel free to correct me if I’m wrong, or comment if you have something to share about the topic.
fin
bye
-FNLS-
ditulis di tutorial Perencanaan Transportasi, karena sedang malas memperhatikan, dan butuh pelarian untuk menyalurkan kegelisahan
dari medium.com
tertanggal 2 November 2016

No comments:

Post a Comment